SEWAKTU mendapat kabar H. Anif mangkat, ingatan pun melayang ke masa silam, saat menjadi wartawan Harian Waspada dua puluh tahun lalu. Kala itu Koordinator Koresponden Hendra Ds memberi assignment kepada saya dan Zulkifli Harahap untuk turun ke hutan-hutan di Mandailing Natal. Tujuannya, untuk mendapatkan gambaran lapangan tentang konflik pengelolaan goa alam yang menjadi sarang walet liar di hutan Muara Batanggadis, wilayah kabupaten itu. H. Anif sebagai pengelola goa-goa di hutan kawasan itu menghadapi konflik dengan pesaingnya yang juga mengincar pengelolaan kekayaan alam di sana. Dia diisukan macam-macam, seperti menimbulkan keresahan masyarakat dalam pengelolaan Goa Sungai Pinang di hutan Desa Tabuyung dan Goa Sibaraso di hutan Desa Singkuang. Beritanya pun bersimpang-siur di berbagai suratkabar di Medan, bahkan nasional. "Tugas kita mendapatkan kondisi objektif di lapangan supaya bisa membantu solusi konflik itu," kata Hendra Ds.

Kami tiba di Muara Batanggadis dini hari menjelang awal Agustus 2001. Bertemu H. Ishak Buyung, tokoh masyarakat Desa Tabuyung di kecamatan tersebut. Saat itu Desa Tabuyung sedang berkonflik dengan masyarakat di dua Desa Singkuang. Di wilayah tiga desa ini lah goa-goa sarang walet liar yang dikelola H. Anif berada.

Rupanya kedatangan H. Anif membuat konflik di sana mereda. Dia selalu mengundang tokoh masyarakat desa-desa itu untuk duduk bersama, membahas potensi dan perkembangan pengelolaan goa sarang walet di hutan-hutan di sana secara terbuka. Ini membuat desa-desa yang berkonflik pelan-pelan menjadi damai kembali.

Konon pula H. Anif membagi hasil dari pengelolaan goa sarang walet itu secara merata kepada desa-desa tersebut. Di luar itu, dia pun masih mengulurkan tangan memberi bantuan sosial dan keuangan, seperti menyumbangkan dana tetap bagi setiap keluarga saban panen sarang walet, membantu warga melaksanakan ibadah haji, memberi beasiswa bagi siswa berprestasi, membangun sarana ibadah berupa masjid dan mushala, membangun sekolah, serta kegiatan sosial lainnya.

Peran H. Anif dalam membangun kedamaian antar-desa di kawasan Kecamatan Muara Batanggadis itu membuat para tokoh masyarakat sepakat memberinya gelar "Raja Menggoyang Alam". Alkisah, gelar ini dulu disandang seorang tokoh bermarga Nasution, yang merupakan "sosok pendamai" di tengah masyarakat desa-desa di sana. Tapi sejak tokoh itu mangkat masyarakat kehilangan sosok yang dapat merukunkan desa-desa yang kembali berkonflik.

Syukur, H. Anif datang ke tengah-tengah masyarakat di desa- desa Kecamatan Muara Batanggadis sebagai penerus gelar "Raja Menggoyang Alam". Masyarakat menyambutnya sebagai "pagar hati" yang menentramkan desa-desa di sana.

Mungkin suasana damai  ini lah yang membuat pesaing H. Anif menyebarkan isu negatif guna menyudutkannya. Padahal keadaan di lapangan justru sebaliknya. Masyarakat malah diuntungkan oleh keberadaan H. Anif sebagai pengelola goa sarang walet di hutan-hutan desa mereka, karena itu memberinya gelar adat sebagai kehormatan.

Namun, "Raja Menggoyang Alam" ini juga mangkat dalam usia 82 tahun, subuh tadi (Rabu, 25/8/2021). Innalillahi wainnailaihi rojiun....

Kepergian ayahanda Wakil Gubernur Sumut Musa Rajekshah ini bukan hanya "menggoyang" masyarakat di desa-desa Kecamatan Muara Batanggadis dan Kabupaten Mandailing Natal, tetapi seluruh Sumatera Utara. Soalnya, pengusaha dermawan ini selalu menjaga silaturahim dengan masyarakat di hampir semua daerah tempatnya membangun bisnis di provinsi ini, mulai dari Medan, Langkat, Deliserdang, Labuhanbatu hingga Mandailing Natal.

Begitu pun, inshaaAllah teladan yang ditunjukkan H. Anif sebagai "Raja Menggoyang Alam" selama hayat tetap memagari hati masyarakat Sumatera Utara untuk tetap hidup dalam damai. Alfateha...Aamiin yaa rabb.*