SAMOSIR - Penolakan atas peresmian situs prasasti Parhutaan Tuan Sorimangaraja di Pusuk Buhit, Kabupaten Samosir oleh Bupati Samosir, Vandiko Timotius Gultom akan berbuntut panjang. Pasalnya, setelah keturunan Pomparan Sorbadijulu, Juinson Sitanggang meminta klarifikasi terbuka dari Pemerintah Kabupaten Samosir atas peresmian situs prasasti Parhutaan Tuan Sorimangaraja di Pusuk Buhit, kemudian disusul oleh surat pengurus Pomparan Parna Indonesia yang hingga kini kabarnya belum dijawab oleh Pemerintah Kabupaten Samosir.

Tidak berhenti di situ, Pomparan Parna dan merupakan wartawan senior dari Jakarta, lewat tulisannya kembali menyoroti peresmian situs prasasti Parhutaan Tuan Sorimangaraja di Pusuk Buhit, dan seijinnya ditayangkan di Gosumut, Selasa (27/7/2021).

Berikut tulisannya:

Berawal dari peresmian Parhutaan Tuan Sorimangaraja di Gunung Pusuk Buhit Pangururan, Kabupaten Samosir tanggal 5 Juli 2021 yang dipimpin Dr. Hinsa I Panjaitan SH, MH yang dihadiri Bupati Samosir Vandiko Timotius Gultom ST, Juinson Sitanggang SH sebagai keturunan Tuan Sorimangaraja mempertanyakan peresmian dan penandatanganan prasasti tersebut.

Juinson dalam suratnya tertanggal 9 Juli 2021 memohon klarifkasi secara terbuka atas peresmian Situs Parhutaan Tuan Sorimangaraja di Sijambur Mulatoppa, Pusuk Buhit.

Surat yang ditujukan kepada Pemerintah Kabupaten Samosir, kepada Bupati Samosir, Vandiko T. Gultom tersebut 10 halaman dan ditembuskan ke berbagai pihak yang intinya, memohon kepada Bupati untuk memberikan jawaban atau klarifikasi secara terbuka apakah Pemerintah Kabupaten Samosir memiliki alasan yang kuat sehingga bersedia menandatangani prasasti dan meresmikan Situs Tuan Sorimangaraja tersebut atau akan meninjau kembali penandatanganan prasasti dan peresmian Situs Tuan Sorimangaraja tersebut.

Terhadap permohonan klarifikasi Juinson Sitanggang itu, Pemerintah Kabupaten Samosir menjawab melalui surat Sekretariat Daerah tanggal 15 Juli 2021, yang ditandatangani Sekda Drs. Jabiat Sagala MHum, a.n. Bupati, yang isinya antara lain, bahwa acara peresmian Situs Parhutaan Tuan Sorimangaraja adalah kegiatan yang diinisiasi komunitas Ruma Hela.

Surat itu pun mengisi banyak grup WA orang-orang Samosir dengan berbagai tanggapan dan pertanyaan, mengapa tidak Bupati yang menandatanganinya?.

Kehadiran Bupati, menurut Jabiat Sagala, adalah sebagai undangan dan menghargai sebuah karya yang bernilai budaya di kampung leluhur sebagai salah satu objek tujuan wisata baru.

Bahwa penandatanganan prasasti oleh Bupati Samosir bukan melegalisasi hak kepemilikan bangunan dan tanah oleh Komunitas Ruma Hela.

Bahwa Komunitas Ruma Hela (Diego A. Naibaho SH, dan Dr Hinca IP Panjaitan XIII, SH MH dkk) bersedia berdiskusi dengan semua pihak terkait pembangunan dan peresmian Situs Parhutaan Tuan Sorimangaraja.

Terhadap surat Sekda Samosir ini pun akhirnya beredar video di YouTube tentang peresmian situs tersebut, terutama pidato Dr. Hinca Panjaitan.

Ternyata Bupati tidak hanya undangan, hadir juga Sekda dan Kepala-kepala Dinas yang oleh Hinca Panjaitan mengucapkan terima kasih karena yang menyediakan peralatan itu adalah Pemda.

Oleh karenanya, surat tersebut tidak sesuai dengan kenyataan, kembali ke perumpamaan Batak “jempek do pat ni gabus” terjemahan bebasnya, pendek kaki kebohongan.

Artinya, bagaimanapun larinya kebohongan itu pasti akan terungkap sebab kakinya pendek, lari ke manapun akan ketahuan juga.

Dalam orasinya yang dapat disaksikan di YouTube, memang Hinca memukau pendengarnya dan menunjukkan kemampuannya, termasuk menelepon Dirut PLN agar dialirkan listrik ke Ruma Hela, sementara banyak penduduk di Samosir yang belum mendapat aliran listrik.

Yang seru, adalah pidato Hinca tentang pembangunan Pusuk Buhit sebagai Titik Nol Peradaban Batak Toba.

Hinca dengan berapi-api antara lain menyebutkan, “Karena itu saya mau beritahukan kepada Dunia, saya beritahukan kepada Pak Bupati, bagaimana susahnya mengangkat batu, semen, air ke sini.

Tidak satu pun dari negara, pemerintah, lembaga, di mana provinsi ?, Di mana Presiden Jokowi? Yang menyatakan super prioritas”.

Peranan Presiden dipertanyakan, dan hebatnya Bupati disanjung.

Anggota Komisi III DPR RI itu juga mengatakan telah meminta Kapolda Sumatera Utara untuk mengganti call sign Polres Samosir menjadi Pusuk Buhit serta meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak mengganggu mereka, tetapi bekerja sama.

Kembali ke surat Sekda Pemerintah Kabupaten Samosir yang menggeser tanggung jawab ke Komunitas Ruma Hela, juga dinilai banyak pihak kurang tepat, sebab yang diminta adalah “pertanggungjawaban Bupati”, sementara keberadaan Komunitas Ruma Hela adalah urusan lain.

Seperti apa yang terjadi di Taman Eden, bagaimana Adam menuding Hawa dan Hawa menuding ular.

Kalau Pemerintah Kabupaten telah menjawab surat Juinson Sitanggang, sementara surat klarifikasi yang dilayangkan HIMABA (Hita Marga Batak) tertanggal 15 Juli 2021, yang ditujukan kepada Dr. Hinsa Panjaitan SH, MH (Anggota DPR RI Komisi III) dan Vandiko Timotius Gultom ST (Bupati Samosir) belum ada kabar beritanya, dijawab atau belum.

Selain Juinson dan HIMABA, Parsadaan Pomparan Raja Naiambaton (PARNA) Indonesia lebih tegas lagi dalam suratnya 23 Juli 2021, perihal Keberatan atas peresmian Situs/Prasasti Parhutaan Tuan Sorimangaraja di Sijambur Mulatoppa, Pusuk Buhit Samosir, yang ditandatangani Ketua Umum Cornel Simbolon MSc dan Sekretaris Umum Dr. Martuama Saragi.

Dalam surat lima halaman itu di butir 3 disebutkan, “Untuk menjaga kerukunan di kalangan/antar Marga keturunan Tuan Sori Mangaradja, serta menyikapi keresahan yang timbul dalam Pomparan/Marga Raja Naiambaton, kami mohon kepada Bapak Bupati untuk:

a. Menghentikan kegiatan peresmian Parhutaan Tuan Sori Mangaradja, sekaligus membatalkan Situs/Prasasti yang telah ditanda tangani.

b. Menata ulang rencana (apabila ada rencana) Pembangunan Parhutaan Tuan Sori Mangaradja dengan melibatkan semua Marga/Pomparan Tuan Sori Mangaradja dan Lembaga budaya yang sah.

c. Menegakkan paradaton di kalangan masyarakat Batak yang melibatkan marga/pomparan dalam wilayah kerja Bupati Samosir.

d. Mencabut/membatalkan surat Ijin Membuat Bangunan yang telah dikeluarkan (apabila sudah dikeluarkan)”.

Mungkin Pemerintah Kabupaten Samosir menganggap dengan menggeser tanggung jawab ke Hinca Panjaitan pegiat Ruma Hela, selesai dengan Juinson Sitanggang, ternyata berbuntut panjang.

Apakah mungkin jawaban Bupati Samosir begitu juga kepada HIMABA dan PARNA, dengan menggeser tanggung jawab juga, belum tahu.

Mudah-mudahan Pemerintah Kabupaten Samosir tidak terganggu dengan kehebohan Situs dan Prasasti yang ditandatangani ramai-ramai itu.

(Penulis, wartawan senior dan advokat, anggota Perkumpulan Na Ringgas Manjaha, berdomisili di Jakarta).