PALAS - Carut marutnya persoalan lahan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Padanglawas harus disikapi pemerintah setempat secara serius, sehingga kehadirannya bisa memberi manfaat bagi masyarakat.


Saat ini keberadaan perkebunan kelapa sawit di Palas dinilai belum banyak memberi manfaat bagi masyarakat, bahkan hak-hak masyarakat dan pemerintah daerah banyak yang dikangkangi.

Belum lagi lahan yang dikuasai korporasi tidak sesuai dengan Izin Usaha Perkebunan (IUP) yang dimiliki. Akibatnya, daerah dan negara banyak dirugikan karena ketidaksesuaian luas lahan dengan izin yang dikantongi. Fakta ini sudah berlangsung lama sebelum Palas menjadi daerah otonom.

Menyikapi hal tersebut, anggota DPRD Palas, Kholid Daulay mengatakan komplikasi persoalan lahan perkebunan kelapa sawit di Palas tidak akan pernah tuntas jika tidak dibarengi komitmen dan ketegasan dari Pemkab Palas.

Menurut politisi PPP ini, persoalan perkebunan kelapa sawit di Palas harus didata dan dievaluasi secara total dan menyeluruh.

"Jika dilakukan evaluasi kembali, tentu seluruh lahan perkebunan bisa tuntas dan berdaya guna. Tidak kecuali izin perkebunan juga perlu didata ulang, maka seluruh perusahaan yang tidak memiliki izin wajib dihentikan dan tidak boleh beroperasi," ujar Kholid, Sabtu (24/7/2021).

Kholid mencontohkan, PT Barumun Raya Padang Langkat (Barapala) yang memiiki lahan perkebunan di wilayah Kecamatan Barumun Tengah belum membawa manfaat bagi warga sekitar.

Walaupun ada sebahagian kecil warga yang dipekerjakan, tapi hanya sekadar berstatus Buruh Harian Lepas (BHL).

"Miris kita melihat kondisi ini, masyarakat yang bekerja di Barapala hanya bersifat BHL, jika terjadi kecelakaan kerja kepada karyawan, pihak perusahaan tidak memiliki tanggung jawab yang kuat sehingga merugikan masyarakat," ujar Kholid.

Seperti baru baru ini, tambah Kholid, ada pekerja di Barapala warga Desa Paya Baung yang meninggal dunia, dan tidak jelas bagaimana tanggung jawab perusahaan terhadap pekerja yang meninggal dunia tersebut. Apalagi pekerja BHL tidak dimasukkan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.

"Ini membuktikan betapa banyaknya persoalan perusahaan yang beroperasi di Palas, mayoriitas pekerja di perusahaan hanya berstatus BHL dan tidak ikut sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan," kata Kholid.

Anggota DPRD dari daerah pemilihan (Dapil) III ini menjelaskan, jika dilihat dari luas lahan yang digarap Barapala, masyarakat Barumun Tengah khususnya tidak ada lagi yang menganggur dan tidak bekerja.

"Ini membuktikan kehadiran Barapala belum mampu menyerap tenaga kerja dari putra daerah," tegasnya.

Belum lagi tumpang tindih kepemilikan lahan. Dalam satu lahan masing masing koperasi mengklaim memiliki izin, seperti lahan SSL digarap Barapala, dan Lahan kebun PTPN II digarap SSL.

Lebih parah lagi masalah, akses jalan desa menuju kebun Barapala hancur dan tidak terawat. Padahal setiap hari angkutan buah kebun Barapala melintas di jalan tersebut.

"Mestinya perbaikan jalan desa yang setiap hari dilalui armada mengangkut buah Barapala diperbaiki, ini malah dibiarkan hancur," jelas Kholid.

Kholid menjelaskan, sesuai SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 905/Kpts-II/1999 tentang pemberian izin usaha perkebunan PT Barapala dengan luasan lahan 10.300 hektare.

Dari luas 10.300 hektare lahan yang dikelola perusahaan di wilayah enam desa di Kecamatan Barumun Tengah, yakni Desa Unte Rudang, Pasar Binanga, Tandihat, Aek Buaton, Padang Matinggi dan Desa Siboris Dolok, tidak jelas pola Pirbunnya.

Terpisah, Ali Hamdan Hasibuan Humas Barapala ketika ditanya terkait status pekerja di Barapala, mengakui mayoritas pekerja masih berstatus BHL.

"Iya status pekerja masih BHL," kata Ali.

Terkait adanya warga pekerja berstatus BHL di Barapala yang meninggal dunia akibat kecelakaan kerja, Ali tidak membantah hal itu.

"Iya memang ada pekerja yang meninggal dunia statusnya masih BHL," ungkapnya.