MEDAN - Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Shohibul Anshor Siregar meminta pemerintah menerima kritik penanganan Covid-19.
Selain menerima kritik, menurut Shohibul, pemerintah juga diharapkan memperbaiki sistem penanganan Covid-19.

Hal itu dikatakan Shohibul menanggapi adanya gerakan sosial pengibaran bendera putih di sejumlah ruas jalanan Kota Medan.

"Berlapang dadalah menerima kritik masyarakat atas penanganan pandemi Covid-19 yang dilakukan dengan pengibaran bendera putih. Ketimbang saling menyalahkan di antara sektor yang mendapat pelimpahan tugas, lebih baik segera memperbaiki sistem. Sektor mana pun yang bermasalah, itu pasti mengindikasikan ketidakberesan sistem," kata Shohibul menjawab GoSumut, Rabu, (21/7/2022).

Lebih lanjut dijelaskannya, mobilisasi pengibaran bendera putih untuk menunjukkan perasaan kekecewaan terhadap petugas Pemeberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Medan adalah sebuah ekpresi yang mewakili perasaan sama dari banyak orang di seluruh Indonesia.

"Mereka memang hanya menyebut arogansi petugas PPKM sebagai pokok sorotan. Tetapi itu hanyalah sisi paling mudah dimengerti oleh khalayak untuk mengatakan bahwa secara keseluruhan pemerintah telah gagal menangani pandemi Covid-19. Untuk memperbaiki keadaan disarankan agar, pertama, pemerintah segera mengoreksi politik anggaran. Seyogyanya pemerintah memilih penyeimbangan motif save human first dengan motif economic recovery sehingga kebijakan benar-benar dapat dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan imperatif konstitusi. Dipastikan masyarakat akan dapat lebih banyak terselamatkan dengan cara ini," jelas Ketua Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPD-IMM) Sumut periode 1986-1988 ini.

Berdasarkan pengalaman selama ini, Shohibul menyebut, masyarakat menilai kegagalan pemerintah menangani pandemi Covid-19 lebih disebabkan pengarusutamaan economic recovery (pemulihan ekonomi) ketimbang save human first (mengarusutamakan keselamatan manusia).

"Tetapi orang yang mengerti politik anggaran bahkan dapat menunjukkan kecenderungan pemihakan pemerintah terhadap korporasi dengan kadar keengganan mendemokratisasi sistem-sistem sumber. Terutama ekonomi dan lapangan pekerjaan. Rakyat pasti tahu bahwa perumusan kebijakan menangani pandemi adalah pertarungan di antara berbagai nilai, ideologi dan kepentingan pragmatis. Jangan sampai kemaslahatan masyarakat dikorbankan oleh, misalnya, transaksi gelap di antara oligarki, komprador dan modal asing," sebutnya.

Kedua, Shohibul menuturkan, komunikasi pemerintah. Masyarakat menilai pemerintah selalu membingunkan karena apa yang diucapkan kerap berbeda dengan apa yang dikerjakan.

"Rumah ibadah diminta ditutup agar interaksi manusia minim untuk memastikan penekanan penularan virus. Tetapi pada saat yang sama masakapai penerbangan terus beroperasi dan dalam setiap penerbangan itu ratusan orang duduk berdampingan dalam jarak amat rapat. Kondisi ekonomi dalam negeri merosot tajam dan gulungtikarnya banyak dunia usaha menyebabkan pemutusaan hubungan kerja (PHK) yang terus menambah angka pengangguran dengan segenap efek dominonya. Pada saat yang sama pemerintah terus mengizinkan tenaga kerja asing berdatangan. Ini menghantam dua hal, mutu konsistensi menangkal virus dari Negara lain dan mutu empati terhadap nasib tenaga kerja domestik," tuturnya.

Sebagai akibat dari pertarungan nilai, ideologi dan kepentingan dalam setiap perumusan kebijakan, pemerintah kerap lebih mengutamakan pengabaian peran dan keniscayaan pelibatan dua pihak, yakni orang beriman dan orang pintar.

"Akhirnya kebijakan politik lebih bertitik tekan pada makna kekuasaan belaka. Pemerintah jarang sekali menunjukkan kesadaran atas bahaya akumulasi kekecewaan masyarakat yang dapat menjurus kepada social disobedience (pembangkangan sosial). Dalam demokrasi rakyatlah sumber legitimasi politik dan akumulasi kekecewaannya dapat menjadi ancaman serius," tegas Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumut (LHKP-PWMSU) ini.

Mungkin, tambah Shohibul, ada segelintir di lingkar kekuasaan yang memilih akal bulus meningkatkan cara yang mengarusutamakan repressi. Padahal itu sangat berbahaya dan pengalaman Indonesia berulangkali menunjukkan akibat buruk dari penyepelean faktor kekecewaan masyarakat.

"Ketiga, organisasi penanganan pandemi Covid-19 yang menyepelekan kekayaan kelembagaan masyarakat. Indonesia sangat kaya dengan kelembagaan masyarakat ini. Bahkan di antara kelembagaan itu ada yang lebih tua usianya dari Negara Republik Indonesia seperti Muhammadiyah yang berdiri tahun 1912 dan NU yang berdiri tahun 1926. Kedua organisasi ini dan organisasi lainnya sangat berpengalaman menghadapi berbagai tantangan zaman, bahkan mengusir penjajahan pun mereka lakukan dan berhasil. Menyepelekan mereka dalam bentuk tak menganggapnya sebagai piranti penting untuk pelibatan adalah kesalahan besar," tambahnya.

Apalagi, menurut Shohibul, organisasi pemerintah tak hanya terbatas dalam hal integritas yang terbukti dari berbagai penyelewengan yang terjadi dalam distribusi bantuan sosial dan yang penanganan hukumnya hingga kini secara luas dianggap tidak berintegritas, tetapi juga jejaring efektif dan kapasitas yang terbatas dalam berbagai hal. Karena itu pemerintah harus menyadari kelemahnnya dan bersedia berbagi beban dengan para stakeholder negeri ini.

"Dalam penyepelean kekayaan kelembagaan sosial itu, pemerintah dengan sangat mengherankan penanganan pandemi Covid-19 dikategorikan sebagai darurat militer. Kontroversi yang dipicu oleh keterangan Muhadjir Efendi ini menimbulkan tanda tanya besar, padahal ia terus berharap kesediaan berkorban masyarakat untuk bersolidaritas membantu sesama (orang kaya membantu orang miskin) karena katanya pemerintah sendirian tak sanggup (lagi) memenuhi tanggung jawabnya menyediakan kebutuhan bantuan sosial yang terus bertambah besar," imbuhnya.

Organisasi penanganan pandemi Covid-19 yang bersifat nasional itu juga kerap tidak konsisten. Saat suatu daerah misalnya menunjukkan kurva terinfeksi yang menurun, pujian selalu ingin didominasi pusat. Sedangkan jika prahara terjadi, daerah terus disudutkan.

Padahal, kata Shohibul, daerah sangat terbatas kemampuannya. Tidak memiliki anggaran yang cukup terutama pemasukannya tergerus dan kewenangan untuk menetapkan PPKM saja harus disetujui oleh Pusat.

"Pengibaran bendera putih sebagai bentuk protes adalah jenis ekspresi politik yang masih terbilang sangat sopan dan sangat santun. Tetapi itu bisa bergerak lebih jauh," pungkas Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya ('nBasis) ini.

Sebelumnya, Senin, (19/7/2021), Ribuan bendera putih berkibar di setiap persimpang jalan di Kota Medan.

"Terlalu arogan petugas PPKM betindak kepada masyarakat. Sudah tidak sesuai dengan aturan. PPKM itu instruksi, bukan peraturan, tapi mereka (petugas) telah sesuka hatinya bertindak, kalau mau keras buat perppu, jadi biar jelas semuanya. Itu (PPKM) kan istruksi, jadi tidak perlu mereka suka-sukanya kepada warga," kata Iwan, koordinator pemasang bendera putih sembari menambahkan 2.700 bendera putih telah disiapkan untuk dipasang di Kota Medan sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah dalam menangani Pandemi Covid-19.