SEMUA manajer di level apapun pasti ingin memutuskan sesuatu dengan pertimbangan data yang benar, akurat dan up-date.
Faktanya, budaya negeri kita adalah budaya cakap, bukan budaya tulisan. Tidak heran jika orang kebanyakan di negeri ini mudah di hasut, mudah di pelintir dan mudah di sesatkan.
Ini yang menjadi tantangan berat bagi para manajer yang tak pernah menemukan sekolah menjadi manajer di negeri ini. Hampir seluruh manajer di negeri ini ber-ilmu warisan dari seniornya, tak berstruktur dan tak berdasar.
Karena perkembangan jaman dan nalar para manajer sudah mulai terbuka, maka sudah banyak manajer yang memulai berusaha mendapatkan data yang valid untuk menjadi dasar pengambilan keputusannya. Proses penggunaan data ini jelas tidak sederhana.
Tantangan pertama adalah pengumpulan data.
Hobi menular dan menurun dari para pekerja (termasuk kebanyakan manajer) dalam hal data adalah kira-kira. Mereka lebih senang di sebut sebagai ‘dukun data’ dari pada disebut profesional. Mereka yang jago kira-kira ini menyebutnya sebagai feeling. Bagi saya ini bukan feeling, tapi ngawur dan nekat.
Ilmu ngawur sudah jamak dan biasa. Terbukti beberapa waktu lalu ada perdebatan tentang keputusan impor beras. Kementerian tidak punya data, jadi mau asal impor, padahal di Badan Urusan Beras stok beras sangat banyak. Se kelas mereka saja masih mempraktikkan Kepemimpinan berbasis perdukunan data, apalagi kelas kios beras di ujung gang..... Menyedihkan.
Sebegitunya mau pakai data, ternyata datanya tidak ada. Lalu dengan proses marah dan lain-lain, maka mulailah dibuatkan pendataan (dengan asumsi suatu saat nanti tidak lagi memutuskan dengan buta data dan tuli data).
Ketika Petugas pencatat data tidak paham kegunaan data yang tiap hari ia kerjakan, maka jadilah lama-lama petugas pencatat data ini merasa bosan dan malas.
Di sisi lain, atasan juga tidak meminta hasil laporan pencatat data, sedikit demi sedikit pencatat data menunda pekerjaannya tanpa ada masalah.
Setelah data bertumpuk atau mendadak atasan memerlukan data, barulah muncul masalah.
Jika rekening listrik atau air Anda membengkak pada akhir tahun, besar kemungkinan terjadi karena kemalasan pencatat data. Petugas pencatat meteran tidak datang tiap bulan, ia hanya nongkrong di kedai kopi dan membuat laporan dengan asumsi rata-rata pemakaian Anda. Dalam setahun, ia hanya bekerja dengan benar sekali saja pada akhir tahun. Temuan di meteran dan perhitungan rata-rata pemakaiannya dirangkum menjadi tagihan bulan terakhir di tahun itu.