MEDAN - Guru Besar Universitas Sumatera Utara (USU), Prof Tan Kamelo mengisyaratkan untuk mengubah Undang-undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Hal itu dikatakan Tan Kamelo menjawab pertanyaan wartawan tentang hasil Pemungutan Suara (PSU) 3 kabupaten di Sumut yang kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Guru Besar Fakultas Hukum USU ini pun berpendapat, baiknya semua pihak harus menghormati hasil pemungutan tersebut.

"Apalagi pada saat pelaksanaannya juga diawasi dan diikuti para stakeholder. Seharusnya semua pihak harus menghormati hasilnya. Saya melihat seluruh norma-norma yang ada di UU Pilkada itu sudah dijalankan dengan baik. Apalagi pemungutannya sudah menjadi sorotan publik. Seperti contoh di Labusel itu. Pelaksanaan PSU di Labusel itu seluruhnya ekstra pengawasan. Tidak mungkin lah itu macam-macam," ujarnya, Minggu (9/5/2021).

Tetapi, lanjutnya, apabila masih ada yang merasa tidak puas, harusnya undang-undangnya yang diubah.

"Kalau tidak, itu diubah saja undang-undang. Boleh menuntut sampai kapan. Sehingga kepastian hukum tidak ada," jelasnya.

Menurutnya, UU pilkada telah merangkumkan semua norma pemilihan agar berjalan dengan tertib. Hanya saja, jangan sampai akibat hasrat berpolitik memunculkan ketidaktertiban hukum.

"Penegakan hukum yang dilakukan hakim MK tentang pelaksanaan PSU tersebut adalah penegakan hukum atas norma. Norma itu ditegakkan atas peristiwa konkrit," tegasnya.

Prof Tan pun menuturkan, hakikat lahirnya uu pilkada adalah untuk memberikan suatu kepastian hukum dan ketertiban dimasyarakat dalam melaksanakan perhelatan pilkada. Norma itu telah ditegakkan oleh hakim MK dalam suatu putusan sengketa sebelumnya dan memerintahkan agar dilaksanakannya psu kembali.

"Namun apabila hasilnya tetap masih tidak bisa membuat rasa puas salah satu pihak, maka harusnya UU-nya yang diubah, bukan malah kembali menggugat ke MK," tuturnya.

Kasarnya, sebutnya, jangan sampai disindir hakim-hakim MK itu nanti. Masa mau berapa kali lagi mengajukan permohonan ke MK kalau masyarakatnya yang berkehendak lain.

"Kalau tetap masih nuntut, ini ada teori yang cocok bagi yang nuntut, tujuan UU itu adalah memberikan ketidakpastian. Nah itulah kalau diputar-putar. Janganlah sampai tidak memberi kepastian karena sebab akan memberikan ketidaktertiban hukum. Inilah maunya orang politik. Kita ini orang hukum. Negara ini bukan negara politik, negara ini negara hukum," paparnya sembari meminta agar para kepada daerah yang terpilih segera merangkul semua pihak tanpa membeda-bedakan.

Seperti diketahui, pascapelaksanaan PSU, sebanyak delapan permohonan sengketa Perselisihan Hasil Suara (PHP) Pemilihan Kepala Daerah kembali didaftarkan ke bagian kepaniteraan MK.

Dari delapan, tiga permohonan berasal Sumut yakni Labuhanbatu, Labusel dan Madina. Sedangkan lima permohonan lainnya adalah PHP Bupati Sakadau, dua permohonan PHP Bupati Rokan Hulu, PHP Halmahera dan Banjarmasin.

Hal itu tertuang dalam Surat Pemberitahuan Penerimaan Permohonan Sengketa PHPKada yang diterbitkan Panitera Mahkamah Konstitusi RI Muhidin SH MHum yang ditujukan kepada Ketua KPU RI Ilham Saputra S.IP dengan nomor :222/HP. 00.01/05/2021 tertanggal Kamis 6 Mei 2021.