MEDAN - Akademisi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor Siregar meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membebaskan Walikota Tanjungbalai dari status tersangka.
Sebab, menurut Shohibul Anshor, otoritas hukum yang menersangkakan Walikota Tanjungbalai M Syahrial diragukan 100 persen.

"Status ketersangkaan yang disematkan kepada Walikota Tanjungbalai harusnya menjadi batal demi hukum. Karena belakangan diketahui bahwa integritas "otoritas hukum" yang menersangkakannya terpaksa diragukan 100 persen," ujar Shohibul menjawab GoSumut, Jumat (24/4/2021).

Menurutnya, proses penersangkaan itu pastilah bukan proses hukum yang benar dan harusnya KPK malu mempertahankan hasil proses penersangkaan semacam itu.

"KPK pun wajib mampu menunjukkan praktik hukum yang berintegritas kepada sesama lembaga penegak hukum (khususnya Kepolisian dan Kejaksaan), apalagi kepada rakyat Indonesia. Amat terasa janggal dan ketersangkaan seperti ini hanya bisa dan dapat dipandang wajar di negara otoriter yang sama sekali tak merasa perlu mengindahkan hukum dan keadilan," jelas Shohibul.

Disebutkan Shohib, jejanggalan yang mencoreng wajah KPK ini pun pasti akan menjadi tertawaan dunia karena secara terang-terangan memisahkan proses penersangkaan Walikota Tanjungbalai dengan praktik abuse of power.

"Tidak mungkin hasil sebuah praktik abuse of power bisa diterima menjadi solusi permasalahan hukum di Indonesia yang di dalam konstitusinya dinyatakan sebagai negara hukum (bukan negara kekuasaan). Berapa pun bukti yang diklaim sudah dipegang oleh KPK untuk status ketersangkaan Walikota Tanjungbalai, secara hukum harus dianggap sebagai hasil dari sebuah niat jahat melalui pemerkosaan hukum yang sangat anti integritas," sebut Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumut (LHKP-PWMSU) ini.

Selain itu, pada kesempatan tersebut, Shohibul memparkan beberapa poin penting serta revisi dalam tubuh komisi yang disebut-sebut antirasuah ini.

"Tahun pertama (2020) setelah revisi UU KPK, perangkat Dewan Pengawas yang diciptakan di dalam tubuh KPK telah menyatakan ratusan bentuk dan atau frekuensi kejadian deviasi dalam pelaksanaan tugas KPK yang di antaranya termasuk yang berkaitan masalah integritas. Dewan Pengawas KPK menghabiskan dana yang besar untuk pelaksanaan fungsi pengawasan yang menghasilkan data yang masih amat miskin itu," terangnya.

Masih menurut Shohib, untuk mengantisipasi praktik deviatif yang potensinya amat luas (termasuk seperti dalam kasus Tanjungbalai, itulah antara lain KPK itu sangat perlu diawasi oleh sebuah Dewan Pengawas yang dinyatakan dalam UU No 19 Tahun 2019.

"Demi keadilan hukum dan praktik hukum yang berintegritas maka Dewan Pengawas harus berani menyatakan pembatalan status ketersangkaan Walikota Tanjungbalai. Rakyat tidak akan dapat memahami dan tidak akan dapat menerima jika KPK berdalih bahwa ketersangkaan Walikota Tanjungbalai dilakukan secara objektif," katanya.

Dewan Pengawas KPK, tegas Shohib, juga wajib mengembangkan kasus ini seluas-luasnya agar tak secara simplistis kelak hanya dihentikan pada sebuah nama belaka.

"Keterampilan memberantas korupsi sebetulnya bukan dominasi sebuah lembaga penegak hukum seperti KPK, Kepolisian dan Kejaksaan. Bahkan rakyat jelata sekalipun terampil membersntas korupsi. Hanya saja, sesuai undang-undang, otoritas itu hanya diberikan oleh negara kepada lembaga tertentu dan dengan demikian dapat mengerem obsesi rakyat dalam melakukan praktik street justice (main hakim sendiri di lapangan)," tegasnya.

Karena itu, kata Shohibul, bobot moral dan integritas pelaksanan tugas menjadi begitu menonjol dalam lembaga penegakan hukum terutama lembaga khusus seperti KPK yang oleh undang-undang ditinggikan seranting di antara sesama lembaga yang bertugas pada bidang yang sama.

"Karena itu terasa bahwa bagi Ketua KPK kejadian ini jelas menjadi sebuah momentum evaluasi diri. Ia tak dikehendaki oleh siapa pun, apalagi keadilan hukum, hanya mampu melakukan apologi dengan mengatakan 'KPK tidak akan mentolerir' praktik memalukan ini. Momentum buruk ini menjadi kesempatan besar dan luhur bagi Ketua KPK untuk menyatakan mundur dari jabatan," katanya seraya menambahkan itu sangat besar manfaatnya bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.

Karena itu, kata Shohibul, Ketua KPK pun tidak usah berfikir untuk menunggu gelombang unjuk rasa mahasiswa dan kalangan civil society memintanya mundur dan kemudian dibalas oleh gelombang unjuk rasa yang berpendapat sebaliknya, karena dalam kondisi sekarang prasyarat seperti itu sudah nyaris tidak ada.

Artinya, tanpa desakan dari mahasiswa dan civil society Ketua KPK akan sangat ksatria berfikir untuk mempertimbangkan opsi pengunduran diri.

"Pembuat regulasi terutama Presiden jangan cuma diam atau hanya menggerutu simptoma hukum. Itu tak membantu menyelesaikan masalah. Presiden dan DPR, dalam ranahnya masing-masing wajib mengevaluasi bahwa dengan revisi UU KPK yang tempohari ditolak kalangan yang luas ternyata hasilnya sangat berbeda dengan gagasan besar yang dinukilkan dalam naskah akademik dan konsideransi UU No 19 Tahun 2019," paparnya.

Karena itu, kata Shohibul, Presiden dan DPR sudah harus mengkaji efektivitas lembaga terpusat pemberantasan korupsi seperti KPK ini.

"Silakan berfikir dan memberanikan diri untuk mengevaluasi, bahkan untuk opsi pembubaran KPK," pungkas Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya ('nBasis) ini.

Sebelumnya, KPK menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus dugaan suap penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara terkait penanganan perkara Walikota Tanjungbalai tahun 2020-2021.

Salah satu yang ditetapkan KPK sebagai tersangka yakni Walikota Tanjungbalai M Syahrial.

"KPK meningkatkan perkara dan menetapkan tiga orang tersangka, pertama saudara SRP (Stepanus Robin Pattuju), kedua MH (Maskur Husain), ketiga MS (M Syahrial)," kata Ketua KPK Firli Bahuri pada Kamis (22/4/2021) kemarin.

Selain itu, KPK menyebut, akibat perbuatannya, Steppanus dan Maksur disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau i dan Pasal 11 atau Pasal 12 B UU Tipikor Jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP.

Sementara itu, M Syahrial dijerat Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor.