JAKARTA - Beberapa aksi unjuk rasa atau demonstrasi menolak kudeta terjadi di Myanmar, sejak pemerintahan Aung San Suu Kyi digulingkan militer pada Senin (31/1/2021), sepekan lalu.

"Kami tidak ingin kediktatoran militer," suara yang dilaporkan terdengar keluar dari puluhan ribu orang pengunjuk rasa di kota Yangon, Myanmar, Minggu (07/02/2021), dikutip dari bbcindonesia.

Para pengunjuk rasa meminta Suu Kyi dibebaskan, mereka juga menolak pemblokiran internet yang diberlakukan sejak Sabtu.

Suu Kyi dilaporkan tak terlihat sejak kudeta, namun Partai NLD (Liga Nasional untuk Demokrasi) menduga Suu Kyi berada dalam tahanan rumah, seperti dikutip kantor berita Associated Press. Tak hanya Suu Kyi, ratusan anggota parlemen juga dikabarkan ditahan meski pembebasan secara berangsur dikabarkan telah dilakukan.

Selain di Yangon, unjuk rasa juga terjadi di Kota Mawlamine dan Mandalay, pada Minggu.

Sebelumnya, Ratusan dosen dan mahasiswa juga berkumpul di luar Universitas Dagon pada Jumat (05/2/2021) dengan simbol tiga jari - tanda yang banyak dilakukan oleh para pengunjuk rasa untuk menunjukkan penentangan terhadap militer.

Tak hanya mereka, kelompok pengacara juga dilaporkan melakukan unjuk rasa.

Sikap penolakan terhadap kudeta militer juga ditunjukkan oleh seorang dokter dengan memilih berhenti bertugas. Dr Naing Htoo Aung, seorang ahli anestesi berusia 47 tahun di Rumah Sakit Mongywa di Wilayah Sagaing, mengatakan kepada BBC Burma; "Saya mengundurkan diri karena saya tidak bisa bekerja di bawah seorang diktator militer yang tidak peduli dengan negara dan rakyatnya. Ini adalah tanggapan terbaik yang bisa saya berikan pada mereka,".

Tampuk kekuasaan kini, dipegang oleh Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing. Sebelas menteri dan deputi, termasuk di bidang keuangan, kesehatan, dalam negeri dan luar negeri, telah diganti.

Dalam pertemuan pertama kabinetnya pada Selasa, Min Aung Hlaing mengulangi bahwa pengambilalihan itu 'tak terelakkan' setelah militer membuat tudingan adanya kecurangan pemilu.***