MEDAN - Akademisi sosial politik dari Universitas Muhammadiyah Sumatera (UMSU), Shohibul Anshor Siregar menyebut seragamisasi Pemilu tanpa disadari merusak demokrasi.

Selain merusak demokrasi dari dalam secara sistematis, seragamisasi Pemilu juga merasa.hakekat otonomi daerah dan budaya.

"Mental seragamisasi adalah arus politik yang salah. Dan itu dikerjakan terus tanpa disadari secara sistematis merusak demokrasi dari dalam dan juga merusak hakekat otonomi. Bukan saja otonomi daerah tetapi otonomi budaya," ujar Shohibul Anshor menjawab GoSumut seputar tarik menarik Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah, Jumat (5/2/2021).

Shohibul juga menyampaikan, kekuatan penyeragaman di negeri ini beranggapan bahwa patronase itu penting.

"Saya ingin jelaskan dalam kerangka teori besar demikian: Kekuatan penyeragam di negeri ini terus beranggapan bahwa patronase itu penting. Mereka penganut teori usang bahwa ada bagian paling super di negeri ini dan kedudukannya sangat tinggi dan ada bagian-bagian yang paling terbelakang dan kedudukannya sangat rendah. Karena itu semua yang dianggap terbelakang dan rendah-rendah itu harus menyesuaikan diri dengan patron yang dianggap lebih super itu," jelas Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Budaya ('nBasis) ini.

Itulah, lanjut Shohib memaparkan, yang terjadi di Papua, mereka terus dianggap rendah dan seolah dianggap hanya patut dijadikan sebagai alasan amat logis dan lawfull untuk korupsi orang-orang Jakarta.

"Ketika mengkritik ini, lihatlah bagaimana respon orang kepada Natalius Pigai yang justeru dibombardir anti Jawa saat ia dihinakan secara rasistik. Aceh selalu dianggap deferior karena ia mampu berdiplomasi dengan pusat pengendali penyeragaman dan beroleh otonomi hingga sanggup memiliki qanun dan semangat shariah yang terus tumbuh," paparnya.

Sumatera Barat, menurut Shohibul juga dipandang oleh segelintir, kurang akal sebagai kurang NKRI karena selalu memiliki kekuatan spritualitas yang sesungguhnya sadar tak sadar sudah terlalu banyak membimbing Indonesia ke arah pencerahan.

"Jika diresume, ini adalah residuacl factor (faktor tersisa) dari alam penjajahan. Orang di pusat kekuasaan tetap merasa dirinya sebagai kawulo dan punggiran kekuasaan selalu diposisikan kurang bermartabat dan lain sebagainya. Karena itu banyak rakyat Indonesia yang merasa dirinya harus menjadi Jakarta. Perhatikan dilema psikologis orang-orang daerah yang menjadi anggiota DPR dan DPD RI, umumnya hanya akan menjadi penambah legitimasi disparitas dan perjuangannya untuk memajukan daerahnya dikunci oleh kekuatan nasional kepartaian dan iklim yang dicptakan untuk itu," imbuhnya.

Ditambahkannya, akan halnya opsi Pilkada 2020 atau 2024 sebagai perpanjangan semangat anti demokrasi dan anti otonomi dapat dilihat sebagai kehendak yang dengan penyeragaman akan lebih mudah menyalurkan hasrat kekuasaan.

"Bayangkan jika pilkada akan diselengarakan 2024, berapa banyak jabatan kepala daerah yang akan "dilelang". Ya, "dilelang", dalam arti seluas-luasnya, termasuk secara implisit tak salah dimaknai pembandrolannya sekaligus. Dengan begitu Indonesia akan diperangkap oleh Pemerintah Pusat melalui Mendagri untuk mendudukkan orang-orangnya menjadi kepala daerah," tambahnya.

Untuk iklim pemilu di Indonesia, terang Shohib, mekanisme itu wajib dimaknai sebagai jejaring perencanaan kecurangan massif, terstruktur dan seterusnya. Apa pun alasan di balik itu maksudnya adalah untuk memastikan keterpilihan calon presiden dan wakil presiden yang dirancang secara "licik" meski bersembunyi di balik regulasi.

"Karena itu, opsi 2024 wajib ditolak karena alasan demokrasi dan otonomi sekaligus melawan para penggantang kekuasaan yang tak memiliki iktikad mengindonesiakan Indonesia. Umumnya mereka adalah komprador yang siap sedia setiap saat "menjual" Indonesia dengan berbagai cara atas nama pembangjnan atau terminologi lain yang membius rakyat dalam ketersesatan yang amat serius," terangnya.

Apalagi, kata Shohib, tentu rakyat Indonesia belum sembnuh dari trauma pemilu 2019 yang banyak membawa korban dan tanpa kejelasan juntrungannya.

"Pilkada 2024 yang akan digabungkan dengan pemilu 2024 secara pasti menjanjikan kekacaubalauan dengan kemungkinan korban manusia yang bisa lebih besar. Karena itu, selamatkan Indonesia !!!!!!," pungkasnya.