JAKARTA - Harga kedelai dunia telah naik hingga 30% sejak semester II-2020 berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag). Hal itu pun sudah dirasakan oleh para perajin tahu dan tempe, yang kini membeli kedelai dengan harga mencapai Rp 9.500/Kg, dari sebelumnya hanyalah di kisaran Rp 6.100-6.500/Kg.

Adapun penyebab kenaikan itu menurut Kemendag pertama ialah gangguan cuaca La Nina di Latin Amerika yang merupakan negara produsen kedelai. Kedua, ada aksi mogok pekerja logistik dan distribusi di Argentina menghambat proses pengiriman. Ketiga, tingginya permintaan kedelai dari China juga menyebabkan harga naik.

Akan tetapi, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso alias Buwas mengatakan, penyebabnya tak hanya itu. Ada faktor lain yang membuat harga kedelai mahal di Indonesia. Buwas mengatakan, faktor lainnya adalah lingkaran setan kartel-kartel importir kedelai.

"Kalau kita bicara bagaimana masalah jagung atau kedelai? Ya itu akar masalahnya, ada lingkaran setan yang sulit kita basmi kecuali bersama-sama," ungkap Buwas dalam konferensi pers virtual dilansir detikFinance, Kamis(4/2/2021).

Lingkaran setan itu berwujud distribusi kedelai yang berlapis-lapis, sehingga ongkos pengiriman kedelai tinggi, dan akhirnya masyarakat dibebani dengan harga yang mahal. Terutama untuk produk tahu dan tempe yang selalu menjadi makanan sehari-hari rakyat Indonesia.

"Kenapa bisa mahal? Teman-teman bisa lihat, akar masalahnya karena kartel terlalu banyak, birokrasi terlalu panjang. Satu ke satu semua pakai biaya yang kita istilahkan ini satu wujud korupsi sebenarnya. Tapi hasil atau beban korupsi dibebankan ke masyarakat/konsumen," kata Buwas.

Di sisi lain, sebenarnya Bulog punya tugas menjaga ketersediaan dan stabilisasi harga kedelai. Tugas itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 48 Tahun 2016 tentang Penugasan Kepada Perum Bulog Dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional. Sayangnya, Buwas mengaku saat ini tugas itu tak bisa dijalankan, termasuk juga impor kedelai.

Buwas mengatakan, para perajin tahu dan tempe seringkali menanyakan Bulog yang tak pernah mengimpor kedelai, dan segalanya dilakukan oleh importir swasta.

"Kalau secara regulasi harusnya Bulog yang punya kewenangan, padi, jagung, kedelai. Bahkan asosiasi perajin tahu dan tempe sudah ketemu saya berkali-kali. Pak Dirut kenapa tidak impor kedelai sehingga kita ini betul-betul dinaungi dan terjamin untuk produksi tahu dan tempe di seluruh Indonesia? Saya bilang maunya juga gitu, persoalannya saya tidak bisa impor kecuali ada penugasan. Nah mereka baru tahu itu bahwa Bulog tidak bisa otomatis impor, meski secara regulasi beras, jagung, kedelai itu kewenangan Bulog," papar dia.

Menurutnya,persoalan impor kedelai ini seharusnya ditangani oleh badan yang berkepentingan untuk masyarakat. Dengan cara itu, maka kedelai bisa dibeli dengan harga terjangkau.

"Kalau dulu pribadi harapannya sudahlah ditangani oleh badan tertentu yang betul-betul punya integritas, punya kepentingan untuk bangsa dan negara, untuk masyarakat," tandas mantan Kepala BNN tersebut.