JAKARTA - Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio menyatakan masih banyak yang salah kaprah perihal efikasi vaksin. Selama ini yang menjadi perhatian dan perbincangan perihal vaksin Covid-19 adalah masalah efikasi, apalagi dari hasil interim vaksin Sinovac di beberapa negara berbeda.

"Efikasi dilihat dari setelah diberikan obat atau vaksin yang mendapatkan manfaat, efikasi diperoleh dr uji klinis yang terkendali. Dari uji klinis yang di Bandung, 1620 relawan artinya bisa dihubungi semua tercatat. Kemudian kondisi vaksin semua dikendalikan," kata Amin dilansir CNBC Indonesia, Rabu(27/1/2021).

Dia menegaskan efikasi berbeda dengan efektivitas vaksin, yang akan terlihat di dunia nyata. Efikasi yang tinggi tidak menjamin efektivitas yang tinggi. Efikasi menurutnya sering disalahartikan, contohnya banyak yang menganggap dari 100 orang yang divaksin jika efikasi 65%, maka hanya ada 65 orang yang terlindungi.

"Efikasi tidak sama dengan probability, efikasi menggambarkan berapa perbedaan risiko yang tidak divaksin dan yang divaksin. Artinya orang yang divaksin memiliki terlindungi 65% lebih besar daripada yang tidak divaksin," katanya.

Efikasi terhadap vaksin Covid-19 pun bisa berbeda di setiap negara bergantung pada studinya, sebagian dari subjek yang disuntikan adalah tenaga kesehatan yang sehari-harinya terpapar virus dalam intensitas yang tinggi. Dia menyebutkan, di bandung dari 1.620 relawan hanya 25 orang yang terpapar, jadi perbandingan perlindungannya lebih tinggi.

"Tapi semua nilai efikasi belum final itu semua masih interim report, karena belum berakhir fase tiga, bisa naik dan turun. Nantinya kita akan gunakan data final," ujar Amin.

Dia menyebutkan untuk mencapai herd immunity 70% ditargetkan untuk divaksin, jumlah tersebut seharusnya sudah dikurangi dengan masyarakat yang tidak menerima vaksin. Selain itu prinsipnya dengan jumlah vaksin terbatas, maka harus diprioritaskan siapa yang akan divaksin terlebih dahulu.

"Banyak yang mempertanyakan siapa dulu yang divaksin, apakah yg produktif atau yang lanjut usia. Orang yang usia produktif, dia high risk dan risiko terpapar virus," kata Amin.

Amin mengingatkan keberhasilan penanganan pandemi ada di masyarakat, tenaga kesehatan adalah salah satu komponen tetapi yang paling menentukan keberhasilan adalah masyarakat. Dia mengatakan kalaupun ada vaksin, fungsinya tidak menggantikan pencegahan melalui protokol kesehatan, memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun, disertai dengan 3T (testing, tracing, dan treatment).

"Masih ada masyarakat yang menganggap Covid-19 ini tidak ada dan ada 30% dari 260 juta orang atau lebih dr 50 juta orang yang tidak percaya Covid-19 ini ada, dan yang menolak vaksin 30% menolak vaksin. Meski survei tersebut menyebutkan menurut masyarakat yang paling tepat mengkomunikasikan vaksinasi yg paling tinggi adalah dokter dengan lebih dari 20x lipat kepercayaan pada dokter," jelasnya.