MEDAN - Kendati hujan melanda Kota Medan, akhir pekan lalu, diskusi sederhana mereview film dokumenter, ParHEREK (Penjaga Kera) di kawasan Simalungun karya Onny Kresnawan yang diproduseri Ria Novita Telaumbanua dari Rumah Inspirasi mendapat sambutan hangat dari para sineas.

Acara yang dihelat di Literacy Coffee kawasan Stadion Teladan ini dibuka dengan permainan gitar akustik oleh Hanna Pagiet dengan membawakan dua buah lagu berturut. Selanjutnya pemutaran film dokumenter ParHEREK dengan durasi sekitar empat puluh lima menit.

Alur cerita mengenai komunitas monyet yang menjadi pengemis di Desa Sibaganding, sebuah jalan raya menuju kota wisata Parapat.

Begitu usai pemutaran film dokumenter yang menceritakan kisah monyet yang tergusur dari habitat aslinya lalu menjadi pengemis di tepi jalan. Tonny Trimarsanto yang menjadi narasumber tunggal mencermati dan mengulas bagian-bagian film yang tengah diproses sebelum launching pada waktunya nanti. Termasuk dalam bagian post productionnya.

Kepada awak media GoSumut, Onny menuturkan munculnya nama Tonny Trimarsanto bukanlah mendadak, melainkan sudah lama menjadi tempatnya berkonsultasi di Klaten tepatnya di Rumah Dokumenter Klaten, sebelum parHEREK dieksekusi setahun lalu.

Tonny Trimarsanto adalah pelaku film dokumenter nasional, pria ramah ini adalah lulusan dari Institut Kesenian Jakarta yang meraih berbagai penghargaan nasional dan mancanegara, seperti Serambi yang mendapat penghargaan dari Cannes tahun 2006, Renita tahun yang sama. Lalu ada Bulu Mata tahun 2016 yang mendapat Piala Citra di ajang Festival Film Indonesia tahun 2017.

"Sebenarnya review untuk film ini untuk internal tim produksi saja, tapi setelah mendapat masukan dari kawan-kawan di ADN Kota Medan, ada baiknya kita buka dan terbatas kepada siapa saja yang tertarik belajar atau mendalami film dokumenter. Saya sampaikan perihal itu ke Mas Tonny, dan dia menyambut hangat karena disana nanti kita bisa saling sharing" ujar Onny.

Sutradara Onny Kresnawan juga menjelaskan, film dokumenter ini mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Propinsi Sumatera Utara khususnya Wakil Gubernur Sumatera Utara, Musa Rajeckshah.

Sementara itu, dalam acara diskusi yang dipandu Setelah Komah, Mas Tonny sekali lagi menekankan bahwa film dokumenter yang bersifat lingkungan amat jarang, maka perlu spesifikasi, maka ada peluang besar disini, dan dalam proses pembuatannya perlu melibatkan kawan-kawan dari daerah lain seperti Jakarta.

Tonny juga menekankan perlunya konsistensi si kreator apakah tetap memproduksi film dokumenter atau beralih ke film lain.

Sementara itu Eric Murdianto seorang pelaku sineas di Medan yang sukses merambah ke sektor bisnis menyebutkan Medan mempunyai peluang, karena di kota ini masih kekurangan orang yang kreatif. "Kita jauh tertinggal dengan Jakarta. Dengan Makassar saja kita tertinggal lima tahun dalam kreatifitas film," ujarnya.


Sekedar informasi, beberapa film dokumenter yang disutradarai Onny Kresnawan telah menerima penghargaan kompetisi film berskala nasional dan internasional. Antara lain, Berharap Air di Atas Air mendapat penghargaan di Kompetisi Manusia dan Air FORKAMI, Jakarta (2008), Pantang di Jaring Halus sebagai film terbaik di JEFIVAL, Jatim (2008).

Kemudian, film Perempuan Nias Meretas Jalan Kesetaraan mendapat penghargaan tayang di CST Confrence ECPAT di Bali (2009), Smong menerima penghargaan film terbaik di Festival Film Kearifan Budaya Lokal, Kemendikbud (2011), Omasido Sekola sebagai Special Mention di Erasmus Huis International Documentary Film Festival, Konsulat Belanda (2013) dan Raonraon Medan sebagai Video Pariwisata Nusantara Terbaik di Toraja Film Festival, Toraja (2018).