MEDAN - Di banyak daerah di Indonesia, termasuk Kota Medan, terdapat banyak kasus aset daerah tidak terjaga dan akhirnya diambil alih oleh kelompok atau oknum tertentu. Pera menjelaskan, untuk aset berupa bangunan atau rumah bersejarah di Medan, sebenarnya ada sistem pendataan yang dilakukan oleh organisasi masyarakat secara mandiri. Data tersebut kemudian juga sudah diserahkan ke Pemko Medan.

“Logikanya, aset tersebut memang milik kota (Medan). Tapi saat diakui, selalu saja ada pihak ketiga yang mengakui memiliki. Memang akhirnya dimiliki Pemko lagi. Tapi harus lewat persidangan, dan biasanya yang menang swasta. Pemko Medan, harus membayar ganti rugi. Polanya selalu begitu,” terangnya.

Kondisi ini, jelas Pera, terjadi karena pendataan aset Pemko Medan tidak transparan. Sehingga ada pengalihfungsian aset-aset menjadi hak milik pribadi, bukan milik publik.

“Pemerintah itu milik publik. Harusnya aset-aset milik Pemko Medan ini diberitahukan kepada warga. Bukan hanya pemerintah saja yang memegang datanya. Sama dengan RTRW (RencanaTata Ruang Wilayah Kota) RDTRK (Rencana Detail Tata Ruang Kota), transparan harusnya, bisa diakses di website. Sehingga bisa bersama-sama mengawasinya,” bebernya.

Sebagai aset publik, menurut Pera, beberapa gedung telah menyentuh fungsi utamanya sebagai hak publik. Namun, masih banyak diantaranya yang tidak bisa diakses publik.

“Seharusnya berfungsi untuk masyarakat, tapi banyak yang ditutup. Seperti taman kota. Saat akan menggunakannya, warga harus dihadapkan dengan berbagai regulasi. Harusnya ruang publik kota kita bebas menggunakannya,” ucap dia.

Dengan begitu, jelas Pera, warga memiliki ruang kreatif sendiri yang bisa digunakan untuk mengekspresikan kreatifitasnya. (*)