JAKARTA-Pandemi Covid-19 mengharuskan anak melewati masa sekolahnya dengan sistem pembelajaran jarak jauh menggunakan gawai (gadget).

Padahal, semakin lama anak menghabiskan waktu menggunakan internet, maka semakin rentan anak terpapar dampak negative dari internet.

Menurut Asisten Deputi Partisipasi Media Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Republik Indonesia, Drs Fatahillah MSi, selain gadget anak perlu dicarikan alternative lain untuk melakukan pembelajaran jarak jauh misalnya dengan menggunakan radio komunitas.

“Dengan belajar menggunakan radio komunitas akan menjadi alternatif untuk melindungi anak dari dampak negative gadget,” tutur Fatahillah, saat berbicara dalam Web Seminar (Webinar) yang diselenggarakan Kementrian PPPA bekerjasama dengan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional (HAN) tahun 2020, Rabu (29/7/2020). Acara ini juga menghadirkan Ketua Umum FJPI Uni Lubis, serta dua pembicara lainnya Andi Ardian selaku Program Manager ECPAT Indonesia, Putu Elvina dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) serta Sandra Ratnasari selaku Pemimpin Redaksi Popmama.com.

Dikatakan Fatahillah, media sosial berdampak membuat anak terlalu banyak mendapatkan informasi, sehingga identitas anak sangat rentan untuk terpublish.

“Dampaknya, anak rentan mengalami cyber bulying serta dari sisi kesehatan bisa terganggu jiwanya,” sebut Fatahillah. Teknologi internet menurutnya bisa menimbulkan kecanduan layaknya mengonsumsi narkoba. Sehingga itu perlu pengawasan yang ketat dari para orangtua terhadap anak-anaknya. Sementara Andi Ardian selaku Program Manager ECPAT Indonesia & Kordinator Child Online Protection yang membawakan materi “Kasus-kasus kejahatan/eksploitasi seksual anak, cyber bullying, dan kecanduan game online pada anak di masa pandemic”, menyebutkan selama Pandemi Covid-19, sekitar 79 anak diperbolehkan oleh orangtuanya menggunakan gawai untuk belajar, dan sekitar 71,3 persen anak memiliki gawai sendiri.

Tingginya akses internet, termasuk oleh anak-anak, membuat komunikasi antar keluarga menjadi berkurang, anak rentan mengalami perundungan (cyber bullying), kecanduan games dan masalah sosial lainnya, serta rentan mengalami kekerasan dan eksploitasi online.

Andi mengungkap data dari 150 kasus Eksploitasi Seksual Anak (ESA), terdapat sekitar 379 anak yang menjadi korban. Selain itu, selama pandemi Covid-19, anak yang mengalami peningkatan penggunaan internet, juga memiliki pengalaman dikirimi pesan yang tidak senonoh, dikirimi gambar/video yang berisi konten ponografi, diajak live streaming membicarakan/melakukan hal yang tidak senonoh (tidak sopan), serta dikirimi tautan yang berisi konten pornografi.

Selain itu, penggunaan gawai serta bertambahnya jam mengakses internet, juga membuat anak banyak menghabiskan waktu untuk bermain game online. Meski memiliki dampak positif diantaranya untuk mengasah kemampuan otak anak, menghilangkan stress dan membentuk kerjasama tim, namun perlu diwaspadai juga bahwa game online bisa menimbulkan gangguan kesehatan diantaranya gangguan mata, postur tubuh, kurangnya interaksi sosial dan membuat anak menjadi kecanduan.

Berdasarkan data KPAI, saat ini jumlah anak di Indonesia terdapat sekitar 83,4 juta jiwa. Itu artinya, satu dari tiga penduduk Indonesia adalah anak. Sementara sekitar 75 persen anak berumur 10-12 tahun saat ini telah menggunakan handphone dan memiliki media sosial. Sementara itu, Ketua Umum FJPI Uni Lubis, saat berbicara dalam Webinar tersebut menyatakan sistem pembelajaran jarak jauh akibat Pandemi Covid-19 membuat anak-anak menjadi miskin.

“Seperti yang diungkap dalam Webinar sebelumnya, bahwa pembelajaran jarak jauh membuat anak-anak menjadi miskin mendadak karena harus membeli kuota internet, orangtuanya tetap harus membayar uang sekolah meski belajarnya secara online, dan penggunaan gawai membuat anak terlibat sebagai cyber bullying baik sebagai pelaku maupun korban,” sebut Uni Lubis. Karena itulah, menurutnya, media harus mampu mengedukasi masyarakat mengenai dampak buruk penggunaan internet bagi anak tanpa dilakukan pendampingan terhadap anak.