MEDAN - Setiap Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) berat harus mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standard. Karena ini merupakan salah satu indikator program kesehatan jiwa dan salah satu indikator Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK). "Jadi, ODGJ atau yang mengalami gangguan jiwa berat, tidak ditelantarkan," tegas Kepala Dinas Kesehatan Sumut dr Alwi Mujahid Hsb MKes, menanggapi permasalahn ODGJ di Sumut, Jumat (18/10/2019) di Medan.

Selain merupakan salah satu program Indonesia sehat berbasis keluarga, lanjut Alwi, juga merupakan salah satu standar pelayanan minimal urusan kesehatan di kabupaten/kota, bagaimana pelayanan di fasilitas kesehatan seperti Puskesmas sesuai standard.

Maka, lanjutnya, seharusnya kabupaten kota mempunyai program untuk penanggulangan atau penatalaksanaannya.

Disinggung mengenai masih adanya ODGJ yang di jalanan dan dipasung, Alwi menjelaskan, Dinkes Sumut akan menyelesaikannya satu per satu. Hal ini harus dibangun dengan pendekatan keluarga. Karenanya tidak bisa serta merta dibebaskan.

"Juga melakukan pendampingan untuk pemberian obat, karena ODGJ ini harus minum obat," ujarnya.

Sementara itu, Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Dinkes Sumut Hery Valona B Ambarita SKp, M.Pd, MKes menerangkan, ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.

Disebutkannya, berdasarkan hasil Riskesdas 2018, prevalensi gangguan jiwa berat di Sumut 0,14 persen (Indonesia 1,7 per mil atau 0,17 persen). Proporsi rumah tangga yang pernah memasung anak ganggguan jiwa berat 14 persen. Prevalensi gangguan mental emosional penduduk Indonesia umur diatas 15 tahun mencapai 11,6 persen. Sedangkan penduduk Sumut (BPS 2019) berjumlah 14.562.549 jiwa. Maka diperkirakan ada sekitar 20.388 ODGJ berat tersebar di kabupaten/kota yang rentan mendapat perlakuakn yang salah (diterlantarkan, dipasung dan lain lain). Kondisi saat ini 428 ODGJ yang mengalami pemasungan di kabupaten/kota di Sumut.

"Jumlah orang yang dipasung dari Januari sampai September di Sumut sebanyak 428 orang dan yang sudah mendapatkan layanan 353 orang, yang dilepas 40 orang serta temuan kasus baru tahun ini 14 orang. Adapaun jumlah ODGJ yang dating ke Puskesmas sebanyak 4.139 orang," terangnya.

Karenanya, jelas Hery, ada 4 program Dinkes Sumut dalam mendukung program pengendalian penyakit masalah kesehatan jiwa nasional (P2MKJN) yaitu sosialisasi program P2MKJN, melakukan kordinasi dan advokasi lintas sektor dengan membentuk Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat (TPKJM), peningkatan kapasitas SDM dengan melakukan peningkatan kapasitas pengelola program kesehatan jiwa, pelatihan kepada dokter, perawat Puskesmas untuk mendeteksi dini dan penatalaksanaan ODGJ serta pelatihan CMHN. Kemudian pengadaan obat jiwa, bantuan teknis dengan membawa tim dokter spesialis kesehatan jiwa, perawat spesialis jiwa dan pengelola program kesehatan jiwa.

“Selanjutnya melakukan monitoring dan evaluasi," ujarnya.

Saat ini, lanjut Hery, baru 6 kabupaten/kota yang memiliki TPKJM yaitu Medan, Deli Serdang, Binjai, Batubara, Taput dan Sibolga. Ada 105 Puskesmas di kab/kota yang memiliki dokter dan perwat terlatih. 23 RSUD ynag memberikan layanan jiwa, dan hanya 4 di antaranya memberikan layanan rawat inap yaitu RS Pirngadi, RS Deli Serdang, RS Rantau Prapat Labuhan Batu dan RS Rondahaim Simalungun. Bahkan masih ada Kab/kota yang belum memiliki dokter spesialis jiwa

Menurutnya juga, kasus ODGJ tidak hanya menjadi tanggungjawab dinask kesehatan saja namun sangat diperlukan kerjasama lintas sektor karena saat ini kurangnya kordinasi lintas sektor dalam penanggulangannya. Anggapan bahwa program kesehatan jiwa bulan skala prioritas sehingga minimnya perhatian dan minimnya anggaran. Sementara, tantangan yang dihadapi, lanjut Hery yaity masih adanya stigma yang berfikir bukan penyakit kesehatan, pengetahuan dan ekonomi karena banyak ODGJ yang tidak masuk BPJS Kesehatan. Kurangnya tenaga terlatih di Puskesmas disebabkan kurangnya anggaran dan adanya yang diberi pelatihan pindah tugas atau tugas tersebbut tidak diberiakan kepadanya.

“Dukungan anggaran APBD kab/kota minim dan ada yang tidak menganggarkan untuk kesehatan jiwa,” tukas Hery.

Untuk program ke empat yaitu melakukan advokasi pada kab kota tentang pelayanan jiwa kepada masyarakat yaitu bentuk TPKJM dengan dana dari provinsi. Mengundang semua yang terkait termasuk penanganan yang terlantar yang selama ini ditangkap dipindah ke daerah lain. Tapi dengan TPKJM yang terlantar tanpa melihat identitasnya harus ditangani.

"Harapannya dengan terbentuknya TPKJM ada protapnya bagaimana menangani yang terlantar dan bagaimana yang dipasung harus dapatkan pelayanan di fasyankes sesuai dengan program ke tiga. Yang terlantar ini harus terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan dan mekanismenya dibicarakan di TPKJM. Karena kebanyakan ODGJ ekonominya sangat rendah. Juga kepedulian keluarga dengan ODGJ sangat rendah dengan gangguan fisik lain," terang Hery.

Disinggung hasil Riskesdas terjadi peningkatan ODGK, Hery mengatakan, bukan orangnya yg bertambah tapi dengan sudah jalannya program dimana dibawah tahun 2017 tidak berjalan seperti yang diharapkan.