MEDAN-Seleksi ketat oleh Panitia Seleksi (Pansel) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap calon pimpinan (capim) KPK patut diacungi jempol.

Sebab dari 104 Capim, Pansel berhasil menyisihkan 64 dan menyisakan 40 orang, termasuk menyisihkan tiga jenderal senior Polri.

Ind Police Watch (IPW) berharap pada proses assessment 8-9 Agustus mendatang, Pansel KPK bisa menyeleksi secara ketat capim yang tersisa hingga menyisakan 4 polisi dan 2 jaksa serta 14 figur lainnya yang punya kompetensi untuk ikut seleksi tahap akhir 10 besar Capim KPK. “Mengingat kepemimpinan selama ini gagal membangun soliditas KPK, IPW menyarankan agar pansel tidak mengikutkan petahana dalam 10 besar,” ujar Ketua Presidium Ind Police Watch dalam siaran persnya, Selasa, (6/8/2019).

Selain itu IPW berharap, Pansel KPK tidak perlu menggubris isu Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negadra (LHKPN). “Sebab LHKPN bukanlah hal prinsif dalam sistem rekrut capim KPK yang dilakukan pansel KPK.

Apalagi mereka baru tahap seleksi, kecuali mereka sudah dinyatakan menjadi pimpinan KPK. UU juga tidak mewajibkan LHKPN itu diminta saat proses seleksi. Jadi adalah salah kaprah jika ada pihak yang mempermasalahkan LHKPN di tahap seleksi,” harapnya.

Dijelaskan Neta, kalaupun ada Capim yang menyerahkan LHKPN-nya tentu tidak masalah. “Lagian di UU tidak menyebutkan adanya sanksi bagi pejabat negara yang tidak menyerahkan LHKPN. Lalu kenapa orang-orang ribut soal LHKPN dalam proses seleksi capim KPK. Aneh. Bagi IPW, LHKPN itu tidak penting, sepanjang UU tidak menegaskan sanksinya. LHKPN itu sekadar basa-basi yang tak penting dipersoalkan,” jelasnya.

Sekaitan dengan itu, IPW melihat KPK ke depan harus diisi oleh 2 Pati Polri sebagai pimpinan agar KPK bisa tegas dan tidak takut pada bawahan dan WP KPK. “Selama ini ketidaktegasan pimpinan KPK dan sikap takut mereka pada bawahan menjadi sumber kacaunya KPK. Ke depan hal ini harus segera diperbaiki,” imbuh Neta.

Ditamabhkannya, IPW melihat banyak hal yang harus diperbaiki di KPK, yakni meliputi instrumental (UU dan PP), pengembangan struktural dangan titik berat pada orientasi (public education). pemberantasan korupsi dengan pendekatan prevention, tugas pembantuan program pemerintah, peningkatan pendapatan negara dan daerah, recovery asset negara dan daerah, memperkuat fungsi koordinasi dan supervisi dgn instansi yang bertugas dalam pemberantasan korupsi. “Selanjutnya tugas penegakan hukum law enforcement terhadap tindak pidana korupsi dengan titik berat kerugian negara dan perekonomian negara sebagaimana Pasal 11 UU Nomor 30 tahun 2002. Fakta-fakta inilah yang menjadi tantangan pimpinan KPK 2019-2023,” tambah Neta.

KPK ‘Monster’ yang Ditakuti

Selama ini KPK sudah menjelma menjadi monster yang sangat ditakuti dan ini sangat berbahaya.

Sebab, jika suatu lembaga menjadi lembaga ditakuti, maka tidak ada yang berani mengkoreksi. KPK pun menjadi otoriter dan sok benar sendiri.

Apa pun yang terjadi dan apapun yang dilakukannya, sekalipun keliru atau salah akan dianggap selalu benar. “Karena itu, IPW sangat respek dan apresiasi kepada ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sebab baru tahun 2018 BPK berani menilai LKP KPKtahun 2018 dengan predikat WDP. Inikan sangat memalukan. Lembaga superbody dalam pemberantasan korupsi itu tidak tampil WTP,” lirihnya.

Dengan WDP, kata Neta, berarti banyak kekeliruan dalam penggunaan anggaran yang ujung-ujungnya potensi korupsinya tinggi. “Tapi, siapa yang berani mengusut dugaan korupsi di KPK. Inilah masalah besar yang harus diperbaiki di KPK dan bukan masalah LHKPN Capimnya. Untuk itu pansel harus benar-benar bisa mendapat pimpinan KPK yang membawa aura baru di lembaga anti rasuh itu,” pungkas Neta.