MEDAN - Kantor berita Rmolsumut.com kembali menghelat diskusi bertajuk Social Infinity Meetup. Pada Sabtu (6/7/2019) diskusi mewawancarai secara eksklusif dua tokoh Sumatera Utara, Dr Edy Ikhsan SH MA dan Yance Drs Yance MSi.

Wawancara yang dipandu editor Rmolsumut.com, Jonris Purba tersebut lebih banyak mengenai soal Kota Medan, khususnya persoalan banjir dan tata kelola kota yang banyak mendapat sorotan negatif.

Dosen Hukum USU yang juga aktivis Dr Edy Ikhsan SH MA menilai telah terjadi sebuah ahistoris yang tak taat pada nilai-nilai sejarah pada pembangunan di Kota Medan.

"Membangun tapi menghancurkan. Silakan lihat sejarah RS Tembakau Deli pertama kali didirikan dan bagaimana kondisinya saat ini?," ungkap Edy Ikhsan.

Edy Ikhsan mengutarakan, sejak berdirinya Kota Medan dirancang untuk kenyamanan dan beraspek pada nilai-nilai cultural. Namun belakangan sejak 10-15 tahun ini konsep tersebut terkesan sengaja dibuyarkan.

"Wajah perubahan pembangunan seperti itu mencitrakan kepemipinan yang tak beraspek pada keberlanjutan," ujar Edy.

Bahkan, Edy Ikhsan menilai pembangunan di Kota Medan kerap kali memanjakan kelompok tertentu.

"Sehingga benarkah dikatakan Medan ini rumah kita?" ujar Lulusan Leiden Belanda tersebut.

Di tempat yang sama, Antropolog USU Drs Yance MSi menekankan pentingnya kepempinan di Kota Medan yang mampu memutus sekat-sekat keterbatasan.

"Misalnya soal banjir di Medan. Ini harus kita perbaiki di hulunya yakni salahsatunya Sibolangit. Maka Walikota ke depan harus mau bernegosiasi dengan Pemkab Deliserdang dan Tanah Karo," ujar Yance.

Yance menjelaskan selama ini Pemda kurang memperhatikan status pos pengamatan banjir yang ada di Sibolangit.

"Jika di pos itu air naik, maka kita di Medan ini bisa punya waktu untuk mengantisipasi banyak hal sebelum banjir datang. Karena dari Sibolangit ke Medan itu ada rentang 7 jam. Itu pun kalau kita tidak punya lagi jurus lain untuk mengantisipasi banjir," ujar Yance.

Sudah dinilai tak memiliki jurus jitu mengantisipasi banjir, Yance menyayangkan justru diperparah dengan perambahan kawasan Medan Selatan yang tadinya merupakan cadangan buffer zone.

"Walikotanya pun memberi contoh buruk karena membangun kantor di zona hijau sungai. Kemudian diikuti warga yang membangun di bantaran sungai. Warga ini bukan ilegal karena ternyata mereka dikutip retribusi seperti sampah," urai Yance.

Mengenai sampah, Yance membeberkan sejak 2013 sudah diharuskan tidak ada lagi tempat pengelolaan sampah terbuka.

"Itu amanah UU Nomor 18 tahun 2008 tentang sampah. Namun, survey untuk menetapkan lokasi TPA baru pun sampai saat ini belum dilakukan. Artinya Medan ini terkesan mengabaikan amanah UU," kata Yance.

Yance menyinggung Medan merupakan kota yang sejak awal dirancang kosmopolitan. Bisa dilihat infrastruktur bangunan di wilayah pemukiman.

"Namun berubah dengan berbagai faktor-faktor yang kesannya kerap dibiarkan yang punya wewenang," kata Yance.

Yance berharap Medan memiliki pemimpin yang bisa belajar dari kesalahan.

"Kita seperti tak belajar dari kesalahan. Rakyat juga bisa dikatakan sebagai pelaku karena membiarkan kondisi seperti ini," tukas Yance.