MEDAN - Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) menegaskan menentang keputusan pihak Rektorat USU yang memecat seluruh anggota dan pengurus pers mahasiswa (Persma) Universitas Sumatera Utara (USU), Suara USU.

Kasus pemberhentian sebanyak 18 orang dalam tubuh Suara USU itu terkait penerbitan cerpen berbau LGBT di website dan akun Instagram Suara USU, beberapa hari lalu.

"FJPI tidak setuju dengan pemecatan pengurus Suara USU itu. Sebab, mahasiswa tersebut bisa dilakukan pembinaan, supaya mereka tahu bagaimana kode etiknya ketika membuat suatu tulisan untuk pers mahasiswa. Karena lingkungannya adalah lingkungan mahasiswa, akademisi tentu apa yang dikeluarkan itu harus memperhatikan dan memandang civitas akademianya," ujar Sekretaris Jendral (Sekjen) FJPI Pusat, Khairiah Lubis, Kamis (28/3).

Hal tersebut ditegaskan Ketua FJPI Sumut, Lia Anggia Nasution. "Soal pemecatan pengurus Suara USU, FJPI jelas tidak sepakat, karena Suara USU itu generasi masa datang, seharusnya tidak dipecat melainkan dibina, setelah dibina kan ada kesepakatan yang harus ditaati oleh pengurus Suara USU. Ini kan bisa dikoordinasikan ke pihak rektorat dan pihak Suara USU," ungkapnya.

Menurut Anggi, seharusnya pihak kampus tidak arogan dengan main pecat kepengurusan Suara USU atau sempat mensuspend website. "Harusnya kan bila tidak setuju dengan konten cerpennya cukup konten cerpennnya saja dicopot dan jangan sampai dipecatlah. Jadi bisa diberi pembinaan pada pengurus Suara USU. Namanya kan USU lembaga pembinaan jadi bila dipecat kesannya arogan," bebernya.

Perempuan yang akrab disapa Anggi ini,  mengurai soal cerpen yang sudah dibacanya tersebut, sejatinya secara karya sastra itu tidak ada yang salah.

"Wajar, namanya karya sastra mau berbentuk apa silahkana. Memang cerpennya masih telanjang istilahnya tidak banyak perumpamaan, ketika orang membaca langsung menyerap isinya. Itulah dibilang isinya masih telanjang. Kita bacanya langsung tahu, seperti yang dibilang rektorat ada kata sperma di cerpen itu. Telanjang sekali cerpennya. Itu tadi, secara karya sastra silahkan saja, kita bisa lihat cerpen Ayu Utami seperti apa karyanya dan Fira Basuki dan lain," ungkapnya.

Hanya saja, Anggi menegaskan dalam kasus ini memang ada yang salah saat cerpen itu dimuat di media kampus.

"Yang miss itu, pemuatannya atau diterbitkan di media internal kampus Suara USU. Kita tentu tahu Suara USU ini dibuat oleh USU. Tujuannya USU tentu punya visi dan misi untuk media kampus. Pihak rektorat tujuannya untuk pendidikan dan pemberitan informasi, ketika rektorat melihat itu melanggar norma atau tidak ada unsur pendidikan di situ, wajar rektorat marah, karena rektorat yang mengawasi penerbitannya," tuturnya.

"Terkait Kreativitas sah saja, namun tetap ada pengawasan pihak Rektorat. Pengurus Suara USU pun harus memahami soal itu," pungkasnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, sang penulis cerpen, Yael Stefany adalah Pimpinan Umum Suara USU.

Yael menjelaskan cerpennya sama sekali bukan tentang mengkampanyekan LGBT di kampus. Dia mengangkat LGBT hanya karena ingin mengingatkan jangan diskriminasi.

"Kami bukan fokusnya pro LGBT, atau mengkampanyekan LGBT. Pesannya di cerpen itu kita jangan diskriminasi sama golongan minoritas, kebetulan mengangkat contohnya LGBT," ujarnya saat dihubungi, Jumat (22/3/2019).

Mahasiswi FISIP USU Semester VI ini mengatakan hanya butuh sehari membuat cerpen itu.

Yael pun menegaskan bukan mau pro LGBT lewat cerpen itu. "Ini adalah cerpen, fiksi, enggak ada tujuan mengatakan ada LBGT di USU. Ini hanya imajinasi, tidak ada pro LGBT, aku hanya kepada toleransi dan saling menghargai minoritas," bebernya.

"Sebenarnya waktu di web responya enggak sebesar ini. Tapi ketika dipromosikan di Instagram (Suara USU) baru viralnya, membludaknya pro dan kontra," tambahnya.

Imbasnya, Yael dan Widiya Hastuti (Pimpinan Redaksi/Pimred) SUARA USU dipanggil pihak rektorat.  Selepas itu, pihaknya kata Yael menurunkan cerpe dari Instagram. "Tidak kami hapus, kami arsipkan di Instagram untuk menenangkan situasi. Bukan gara-gara disuruh rektor," jelasnya.*