JAKARTA - Jokowi dan Prabowo kembali bertarung di pemilihan umum (Pemilu) 2019 yang akan digelar 17 April mendatang.

Di Pemilu 2014, keduanya juga berhadapan dengan hasil akhir yang hanya selisih 8 ribuan suara pemilih nasional-dengan Jokowi sebagai pemenang.

Pada Pemilu 2014, Jokowi di usung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

Sementara Prabowo, diusung oleh Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Golkar, dan Partai Bulan Bintang (PBB).

Pasca menang Pilpres, pemerintahan-kabinet Jokowi mendapat dukungan tak lebih dari 51% kekuatan parlemen. KIH (Koalisi Indonesia Hebat) yang mendukung pemerintahan Jokowi hanya memiliki 208 (37,14%) kursi di DPR RI, yang terdiri dari 109 (18,95%) kursi dari PDI-P, 36 (6,42%) kursi dari Partai NasDem, 47 (8,39%) kursi dari PKB dan 16 (2,9%) kursi dari Partai Hanura.

Sementara KMP (Koalisi Merah Putih) sebagai oposan, yang pada awal dibentuknya terdiri dari Partai Gerindra, PAN, PPP, PKS, PBB, dan Partai Golkar memiliki bobot dominan di DPR.

Kelemahan dukungan tersebut, juga diinsinuasi menjadi sebab bongkar-pasangnya kabinet Jokowi. "Bisa, begitu," kata Pengamat Politik Iskandarsyah, Rabu (27/02/2019) saat ditanya kemungkinan resuffle era Jokowi disebabkan konsekuensi pemenuhan syahwat kursi menteri para pendukung Jokowi.

17 November 2015, KIH resmi berganti nama menjadi Koalisi Kerjasama Partai Pendukung Pemerintah (KP3) dengan turut bergabungnya PPP yang membawa 39 kursi (6,53 persen suara nasional), disusul Golkar dengan bobot 91 kursi (14,75 persen suara nasional). Komposisi KP3 pun semakin kuat yakni sekira 338 kursi atau 58,42 persen.

Kekuatan baru pendukung Jokowi itu belum termasuk ghost supporter dari PAN dan Demokrat yang kental dipresepsikan netral di Parlemen.

Pemilu kali ini-2019, Jokowi diusung dan didukung oleh PKB, PDIP, Nasdem, Hanura, PPP, Golkar serta PSI, PKPI, Garuda, Perindo dan PBB. Sementara Prabowo, diusung dan didukung oleh Demokrat, PKS, Gerindra, PAN serta sebagian kader PBB dan PPP.

Mereka yang bertarung di Pilpres 2019 adalah wajah-wajah parpol hasil proses panjang yang berawal dari KIH dan KMP; Kubu politik Indonesia telah terbentuk hanya terdiri dari 2 kutub pemain.

Pertanyaannya selanjutnya, apakah partai politik di tiap kubu akan berhasil memenangkan Pileg 2019 sehingga bisa turut mendukung Capres yang diusungnya melalui parlemen sepanjang 2019-2024?

Gaung isu Pilpres 2019 yang dominan ketimbang isu Pileg 2019, memperjelas bahwa setiap parpol di masing-masing kubu Capres/Cawapres mengarah pada kemenangan bersama; eksekutif dan legislatif, Istana Kepresidenan serta Kabinet dan Parlemen.

Pemilih Prabowo, diharapkan otomatis memilih PAN, PKS, Gerinda dan Demokrat. Begitu juga pemilih Jokowi, diharapkan juga memilih PDIP, Golkar, Nasdem, Perindo, PSI, PKB, Hanura, PPP serta PKPI, Garuda dan PBB.

Gaung sosialisasi tak berimbang antara Pilpres dan Pileg 2019 sedianya berpotensi membuat rakyat bak "membeli kucing dalam karung". Hal ini terkait dengan masih banyaknya, Caleg yang tidak mempublikasikan data diri.

Padahal info soal Pileg juga penting, "Agar (pemilih, red) bisa mendasarkan pilihannya pada integritas, kualitas, rekam jejak, dan komitmen yang bisa dilacak dari profil caleg tersebut," kata Direktur Eksekutif Perludem dalam keterangan tertulisnya soal peluncuran pintarmemilih.id, beberapa waktu lalu.

Namun, jika keterpilihan Capres-Cawapres tidak berbanding lurus dengan keterpilihan parpol pengusung, juga bukan tidak mungkin penjajakan kutub politik seperti masa awal KPM-KIH kembali terjadi karena Presiden terpilih, tertawan dukungan parlemen.

Inilah ujian bagi masyarakat Indonesia untuk memilih secara cerdas dan bertanggungjawab jika pilihan dimaksudkan untuk membawa kebaikan jangka panjang. Presiden, tidak pernah bisa bekerja efektif dan efisien tanpa dukungan DPR. Dari Pilpres-Pileg 2019 ke 2024 dan seterusnya.

Mengutip pernyataan Ketua DPP Partai Berkarya, Badaruddin Andi Picunang pada Minggu (03/03/2019), "Karena visi pembangunan para pemimpin tak lekang oleh waktu,".

Menengok visi Jokowi dan Prabowo sebagai Capres pada 2014 dan 2019, sulit menemukan perubahan haluan.

Visi Jokowi pada 2014, "Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian". 2019 ini, Jokowi menjual visi, "Terwujudnya Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian, berlandaskan gotong-royong".

Lalu visi Prabowo 2014 berbunyi, "Membangun Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur serta bermartabat".

Dan visi 2019-nya berbunyi, "Terwujudnya Bangsa dan Negara Republik Indonesia yang adil, makmur bermartabat, relijius, berdaulat di bidang politik, berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian nasional yang kuat di bidang budaya serta menjamin kehidupan yang rukun antar warga negara tanpa memandang suku, agama, latar belakang sosial dan rasnya berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945". ***