KARO - Menindaklanjuti Rakerkesnas Maret 2018 lalu dan sudah ditindaklanjuti
dalam rakerkesda, Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara melaksanakan Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang) Kesehatan Provsu Ketiga Tahun 2018, Senin (26/11/2018) di Hotel Sibayak, Brastagi, Kabupaten Karo.

Rakorbang ini, jelas Sekretaris Dinkes Provsu, Ridesman, difungsikan sebagai monitoring dan evaluasi dalam pencapaian yang sudah diperoleh dinas kesehatan kabupaten/kota terhadap rekomendasi rakerkesnas beberapa waktu lalu.

"Rakorbang ini sudah menghasilkan 5 kesepakatan, yakni Dinkes Provinsi, dinkes
kabupaten/kota termasuk rumah sakit daerah akan mempelajari hasil pencapaian program dan hasil riskesdas 2018. Karena ini masukan yang baik untuk kita tentang apa yang kita lakukan di 2019 mendatang," ujar Ridesman usai menutup Rakorbang Kesehatan Provsu Ketiga Tahun 2018.

Dalam rakorbang ini, lanjut Ridesman, hasil riskesdas 2018 itu akan dijadikan sebagai rencana kerja tahun 2020 mendatang. Artinya, pada 2019 mendatang kita akan menyusun perencanaan 2020. Jadi hasil capaian 2018 dan hasil riskesdas, harus dijadikan acuan menyusun rencana kerja untuk tahun 2020, termasuk pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan dan Sustainable Development Goals (SDGs).

"Kita juga bersepakat bahwa rencana kerja 2020 sudah harus dimulai Februari 2019. Jadi kita punya waktu yang panjang untuk membahasnya. Itu sudah kita sepakati tadi," bilangnya.

rencana kerja yang disusun kabupaten/kota akan konsultasikan ke Dinkes Provinsi agar terjalinnya sinergitas, kesolidan untuk perencanaan tahun 2020 mendatang. Setelah itu baru akan dibahas dalam Forum Perangkat Daerah (FPD).

Masing-masing kabupaten/kota diminta melakukan pengkajian diri sendiri terhadap 
tindak lanjut rakerkesnas dalam bentuk daftar tilik.

"Sehingga mereka bisa menghitung sendiri, dari sekian rekomendasi yang harus dikerjakan pada rakerkesnas kemarin, berapa persen yang bisa mereka
tindaklanjuti selama tahun 2018 ini. Mereka diminta melaporkan kepada Dinkes
Provinsi di minggu ketiga Bulan Desember 2018," paparnya.

Dalam pertemuan ini, dirinya merasa ada hal yang memprihatinkan. Sebab, ada
beberapa indikator capaian program itu, Sumut berada di peringkat paling bawah.

"Contohnya seperti yang dipersoalkan teman-teman, buku kesehatan ibu dan anak.
Buku KIA kita itu ternyata kita yang paling rendah se Indonesia. Padahal, kalau
kita telaah, ketersediaan kita cukup, distribusi kita ke kabupaten/kota juga
cukup, distribusi kabupaten/kota ke puskesmas juga bagus, jadi kita menduga buku
ini tercecer atau tidak begitu dipedulikan di level pemilik, pengguna, dalam hal
ini ibu hamil," bebernya.

Apapun itu, imbuh dia, ini menjadi evaluasi mereka akan kurang kuatnya sosialisasi betapa pentingnya buku ini bagi ibu hamil dan keluarganya.

Ridesman juga menjelaskan, buku ini juga menjadi salah satu hal yang penting untuk mendeteksi terjadinya stunting di tengah masyarakat. Sebab, di buku ini akan tercatat dimulai masa kehamilan, hingga tumbuh kembangnya seorang anak.

Untuk persentase cakupan pemeriksaan ibu hamil, ungkap Ridesman, Sumut menduduki
peringkat keenam terbawah meskipun pencapaiannya sudah 91 persen. Artinya, provinsi lain sudah mendekati angka 100 persen.

"Kita 91 persen saja masih berada di peringkat enam terbawah. Dibandingkan dengan riskesdas 2013, kita tidak ada kenaikan, bertahan di angka 91 persen itu. Ini akan kita kaji," bebernya.

Dirinya menyimpulkan, Sumut perlu dilakukan tata kelola yang baik, termasuk pencatatan dan pelaporan.

"Jadi ini harus kita dorong teman-teman di kabupaten/kota. Tata kelola terutama di level pelaksana harus diperkuat. Apa yang harus diperkuat? pengawasannya. Kita takut, mereka sudah bekerja habis-habisan, sumber daya sudah digunakan, tapi tidak benar dalam pencatatan dan pelaporan. Jadi ada yang hilang dalam pekerjaan itu," bilangnya.

Stunting

Di tempat yang sama, Kabid Kesehatan Masyarakat Dinkes Sumut, Teguh Supriyadi
menjelaskan, persoalan stunting adalah persoalan generasi ke depan. Stunting itu
dimulai dari 1000 hari pertama di kehidupan untuk mencegah anak tidak stunting.

"Stunting ini diketahui sampai dengan dua tahun. Kalau sudah lebih dari dua tahun, maka sulit diperbaiki," ujar Teguh.

Untuk mengatasi atau mencegah sedini mungkin, maka harus dilakukan strategi komunikasi yang lebih maju lagi yakni dengan mengedukasi remaja sebagai
persiapan jika nanti sudah berkeluarga.

Stunting ini berkaitan dengan asupan gizi si anak atau ibu yang ingin mempunyai anak. Sebenarnya, kata Teguh, masyarakat bisa mengkonversi kebutuhan pokok, misalnya dari beras ke ubi atau jagung.

"Intinya kita harus melakukan germas (gerakan masyarakat hidup sehat). Mengonsumsi sayur, buah. Kalau buah-buahan juga tidak harus mahal. Sebenarnya, konvergensinya dengan pertanian di antaranya, pertanian diharapkan juga bisa, misalnya, mengajak penduduk memiliki tanaman-tanaman seperti buah, sayur, sehingga tidak kekurangan (untuk asupan)," jelasnya.

Di lain sisi, Teguh juga meminta agar kabupaten/kota dapat menganggarkan makanan tambahan MP-ASI untuk anak. Meskipun juga ada bantuan dari pemerintah pusat.

"Tapi ibu juga harus diedukasi, bagaimana cara membuatnya, makanya sebetulnya pada waktu hamil, ini sudah dipelajari, soal imunisasi anak juga dipelajari, bagaimana cara membuat ASI, dan sebagainya," tutupnya.