MEDAN - Tata kelola perizinan perkebunan kelapa sawit belum terkoneksi dengan baik. Hal ini terlihat dalam setiap tahapan kegiatan, mulai dari proses pengeluaran izin, produksi dan pelaksana kegiatan, Provinsi Sumatera Utara menjadi salah satu daerah penghasilan sawit yang saat ini tata kelolanya tergolong buruk.

Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya izin usaha perkebunan (IUP) ada sekitar­­+ 253 kebun/PKS yang kewenangannya ada di Kab/kota. Pada tahun 2015 Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara hanya menyampaikan penilaian usaha perkebunan+ 47 perkebunan ke Kementerian Pertanian.

"Ketidaksingkronan data antara dinas perkebunan Sumatera Utara dengan Dinas Perkebunan di Kab/kota, banyak perkebunan yang tidak menyampaikan PUP yang menjadi kewenangannya di Kab/Kota. Terlebih lagi kita lihat yang masuk di kawasan hutan yang sudah beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit," sebut Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Walhi Sumut, Khairul Bukhari, dalam siaran pers yang diterima, Kamis (18/10/2018).

Khairul mengapresiasi upaya pemerintahan melakukan moratorium izin perkebunan kelapa sawit dengan menerbitkan Intruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 Tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.

"Inpres Moratorium nomor 8 tahun 2018, ini menjadi langkah awal pemerintahan di Provinsi, Kab/kota untuk menata atau membenahi izin-izin kelapa sawit," jelasnya.

Khairul Bukhari yang sering disapa Ari menjelaskan, ada langkah – langkah penting yang perlu dilakukan pemerintah setelah terbitnya Inpres No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit yang ditandatangani pada 19 September 2018.
"Inpres ini berisi tiga poin besar yang harus dijalankan pemerintah yaitu penangguhan atau penundaan perizinan perkebunan sawit, evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit dan peningkatan produktivitas perkebunan sawit milik masyarakat," bilangnya.

Untuk langkah awal yang harus dilakukan pemerintah di provinsi hingga Kab/Kota, yakni menata dan meninjau kembali perizinan yang sudah diterbitkan di tingkat Provinsi serta Kab/Kota dan melakukan review dan monitoring kelapangan untuk melihat apakah pemegang izin perusahaan tidak melanggar aturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia, apabila melanggar, pemerintah harus mengambil langkah tegas secara hukum.

"Apalagi yang tidak ada sama sekali mengantongi izin seperti di Desa Lingga Muda, Kecamatan Lau Baleng, Kabupaten Karo itu sangat-sangat melanggar aturan dan perundang-undangan bahkan lokasi tersebut di kawasan hutan lindung, maka seharusnya pemerintah dan pihak yang berwajib mengambil langkah tegas sebut,“ Khairul Bukhari.

Disamping itu, pemerintah perlu membuka segala informasi perizinan terkait pengelolaan perkebunan kelapa sawit kepada public secara trasparansi dan akuntabilitas. Selama ini masyarakat sangat sulit mengakses informasi mengenai perizinan sekalipun sudah memenangkan gugatan sengketa informasi di pengadilan. Misalnya, dalam perkara sengketa informasi antara koalisi organisasi masyarakat sipil seperti FWI dan Greenpeace Indonesia dengan Kementerian ATR/BPN.

"Pada intinya putusan Mahkamah Agung memerintahkan Kementerian ATR/BPN membuka HGU kelapa sawit. Dan membangun komunikasi yang baik antara pemerintahan pusat dan pemerintahan provinsi hingga di kab/kota untuk mensingkronisasikan data yang sudah ada untuk dilakukan review, karena kita tahu bahwa moratorium ini hanya berjangka 3 tahun sejak diterbitkan, karena ini bukan kerja gampang untuk melihat kondisi penurunan kawasan hutan di Sumatera Utara," tandasnya.

Penurunan kawasan hutan dari tahun ke tahun, tahun 2005 – 2014 “SK No.44 ± 3.742.120 Hektar ke SK No. 579 ± 3.055.795 Hektar. Artinya ada ± 686,325 Hektar kawasan hutan yang berkurang.

"Kita lihat lagi di tahun 2014 sampai tahun 2016 dari SK 579 ke SK No. 1076 yang kita baru dapat informasi kawasan hutan yang tersisa tinggal 3.010.160, 89 Hektar artinya pengurangan kawasan dari SK 579 ke SK No. 1076 ± 45, 635 Hektar mengalami penurunan," tukasnya.*