JAKARTA - Irma Suryani, Anggota DPR RI dari Fraksi NasDem tiba-tiba ngamuk saat sesi tanya jawab pada diskusi dengan wartawan di Press Rom DPR/DPD/MPR RI, Senayan Jakarta, Senin (17/9/2018) siang.

Bahkan dalam diskusi Empat Pilar MPR RI dengan tema 'Etika Politik Kampanye Bagi Kepala Daerah' kerjasama Humas Setjen MPR RI dengan Koordinatoriat Wartawan Parlemen yang digelar di Ruang Diskusi Media Centre Parlemen itu, beberapa wartawan mengajukan pertanyaan terkait dengan banyaknya pejabat daerah sekelas Gubernur dan Bupati yang terlibat politik praktis di Pilpres 2019.

"Apakah tidak bisa bu, UU nya di revisi dan tegas disebutkan bahwa kepala daerah tidak boleh mendukung salah satu calon. Karena hemat saya, kepala daerah ketika dipilih oleh rakyat setempat, sudah mewakafkan dirinya untuk rakyat. Dan jika mendukung salah satu calon, apakah semua rakyatnya bisa terima," tanya salah seorang wartawan dari media cetak terbitan Jakarta.

Pada saat itulah, Irma Suryani langsung meradang. "Kalian wartawan harusnya independen. Kenapa giliran kepala daerah yang tidak menguntungkan lawan pak Jokowi kalian ribut minta revisi dan lain-lain. Toh di tahun 2014 kalian diam saja," ujar Irma Suryani.

Atas ucapanya itu, sebagian wartawan yang hadir pun protes. "Ini bukan soal dukung mendukung. Tugas wartawan adalah mengawal dan mengkritisi bu, bukan soal independen atau tidak," celetuk seorang wartawan yang hadir.

Dengan lantang Irma pun kembali ngomel. "Kalian pikir saya di komisi IX tidak pernah kritis, kalian taulah, kalau pemerintah salah juga kami kritisi. Jangan kemudian ada gubernur di Jawa misalnya dukung Jokowi kalian terus sibuk minta revisi, tapi giliran ada UU yang menguntungkan terus diam," tandasnya.

Irma Suryani Chaniago mengatakan bahwa masalah kepala daerah mendukung dan menjadi juru kampanye salah satu capres sudah terjadi pada saat pilpres 2014 lalu apakah saat itu mereka menyalahi etika dan fenomena itu tidak seramai sekarang pada pilpres 2019.

"Saya juga ingin sampaikan, jika aturan sudah menyatakan bahwa itu boleh ya buat apa diperdebatkan lagi. Yang penting tidak menyusahkan dan merugikan rakyat yang penting ada hak cutinya ada aturan-aturannya. Pada intinya, saya berpendapat pantas saja kalau temen-teman kepala daerah memberikan dukungan tapi dengan satu catatan tidak boleh pragmatis. Jangan karena pragmatisme mereka mendukung, dulu kamu sudah saya kasih kursi saya dukung sekarang balas budi. Mendukung itu harus dengan ikhlas harus berdasarkan kinerja dan fakta," katanya.

"Wartawan harusnya ditengah, kalian harusnya gak seperti itu. 2014 toh banyak kepala daerah mendukung Prabowo Hatta, kalian gak ribut. Saya tau itu," paparnya, yang langsung disambut keriuhan. "Ibu salah, kami juga kritisi itu bu, ibu saja yang enggak tahu," jawab para wartawan.

Atas pernyataanya tersebut, diskusi pun mendadak sepi. Sebagian wartawan memilih untuk keluar ruangan. Akhirnya moderator pun mengambil alih dan meminta peserta diskusi tenang. Dan mengambil keputusan untuk mengakhiri acara tersebut.

Sementara itu, Anggota MPR RI Fraksi PKS Nasir Djamil yang juga menjadi narasumber diskusi mengungkapkan, bahwa soal dukungan kepala daerah kepada capres sudah ada terlihat bahkan berkampanye untuk salah satu capres dan cawapres tahun 2004 saat gelaran pilpres secara langsung dan pengaturan soal itu juga sudah dilakukan sejak itu. Dan untuk tahun ini 2019 memang semakin gencar fenomena tersebut.

"Saat ini, sejumlah parpol sudah mengancang-ancang akan mengerahkan kepala daerahnya yang mereka usung saat pilgub, pilbup dan pilwakot untuk membantu kemenangan capres yang diusung oleh partai bersangkutan,” ujarnya.

Namun, lanjut Nasir, hal tersebut ternyata menimbulkan satu pertanyaan di tengah masyarakat terkait posisi kepala daerah itu yakni kendala psikologis sang kepala daerah. Mungkin, kepala daerah perseorangan atau independen tidak akan mempermasalahkan dan tidak ada kendala psikologis mendukung atau tidak mendukung capres sebab tidak didukung parpol atau gabungan parpol.

Namun, kendala psikologis itu akan muncul pada kepala daerah yang diusung parpol atau gabungan parpol bila dia tidak berkampanye untuk capres yang diusung parpol pengusung dia. Sebab, di Indonesia sudah terlanjur ada pepatah ada ubi ada talas ada budi ada balas. Jadi, kalau kita ingin dianggap berbudi luhur ya ikuti nenek moyang kita itu. Ini lah yang buat suasana menjadi ramai," katanya.

Sebenarnya, lanjut Nasir, aturan soal kampanye kepala daerah sudah ada dalam PKPU RI juga ada Permendagrinya yang membiolehkan kepala daerah berkampanye satu hari dalam seminggu kecuali hari libur dan itupun harus mengajukan cuti untuk melakukan kampanye kepada capres yang didukungnya.

"Tapi, kalau kita merujuk sumpah dan janji kepala daerah memang tidak ada sumpah dan janji mendukung parpol yang mengusungnya, gak ada itu. Dia hanya berjanji bersumpah kepada Tuhan Yang Maha Esa, lalu memegang jabatan kepala daerah itu seadil-adinya dan taat UU dasar dan peraturan lainnya dan berbakti kepada nusa dan bangsa," tandasnya. ***