JAKARTA - Wakil Ketua Komite I DPD RI Benny Ramdani mengkritisi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang pengurus partai menjadi anggota DPD. Benny mengendus keputusan ini dikeluarkan MK karena ada aroma kepentingan politik tertentu. "Jadi soal keputusan MK nomor 30/PUU/XVI/2018 DPD RI menilai bahwa ini adalah putusan yang aromanya jelas-jelas berbau politik seolah olah ada target politik karena yang menjadi fokus adalah pengurus partai yang mencalonkon diri ke DPD," katanya di kediaman OSO, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (24/7).

Aroma politik tersebut, kata Benny, karena gugatan yang diajukan pada April lalu diputuskan bulan Juli. Artinya secara limitatif selama tiga bulan sudah ada putusan MK. Dia menilai, MK begitu cepat mengeluarkan putusan, karena sedang menangani banyak perkara lain yang harusnya menjadi prioritas dan harus diselesaikan.

"Yang kedua, sejak gugatan diajukan ke MK otomatis masalah dan perkara ini enggak pernah muncul ke pemukaan tidak pernah muncul ke publik dimana rakyat rakyat dan warga Indonesia punya akses untuk setiap perkara yang dibahas MK terkait transparansi," ujar Benny.

Kemudian, menurutnya, putusan MK ini dikeluarkan saat menit menit terakhir saat dimana WNI yang mencalonkan diri ke DPD, batasnya tersisa satu hari dimana KPU menetapkan secara final sebagai calon tetap.

"Demikian juga WNI yang sedang mencalonkan diri ke DPR proses nya sudah berjalan jauh, yang hari ini KPU sedang melakukan verifikasi terhadap berkas dan persyaratan," tambahnya.

Benny melihat MK tidak memberikan ruang bagi seseorang yang sudah mengundurkan diri dari parpol dan terlanjur mendaftar calon DPD untuk pindah menjadi caleg DPR RI.

"Itu tidak diberi ruang oleh MK untuk KPU memberi kesempatan dalam hal calon tersebut mengurus dokumen persyaratan yang akan dimasukkan Ke KPU sebagai persyaratan DPR," ucap dia.

"Yang kelima ada perintah MK kepada KPU. Bagaimana bisa institusi MK memerintahkan KPU," sambungnya.

Benny menegaskan, putusan MK ini adalah putusan yang sangat berbahaya dan menjadi ancaman yang serius untuk 78 anggota calon DPD yang berasal dari pengurus partai, akan terancam hak politiknya untuk mencalonkan diri ke DPR. Sebab PKPU tidak bisa mengubah nomor urut.

"Menjegal orang-orang yang pada hari ini ada di pengurusan partai kemudian digagalkan untuk tak maju ke DPD. sementara jika pengurus memindahkan pencalonan nya untuk ke DPR, ini pun sudah sangat terkunci," tegasnya.

Politikus Hanura ini menambahkan, MK juga telah menafsirkan dan melahirkan norma baru dari pengajuan pasal 182 tentang 'pekerjaan lain'. Benny menegaskan, untuk mengubah frasa 'pekerjaan lain' itu mestinya dibahas dulu ke DPR karena telah melahirkan norma baru yang tertuang dalam UU Pemilu.

Dia menambahkan, makna pekerjaan lain yang dimaksud juga belum sesuai dengan pemahaman. Harusnya frasa 'pekerjaan lain' berlaku kepada jabatan yang jika diberikan upah resmi. Beda dengan kategori pengurus partai politik yang menurutnya tidak dibayar.

"Misalkan sebagai dokter, advokat, notaris, kalau kemudian pengurus parpol itu bukan pekerjaan. Setiap orang yang ada di kepengurusan partai itu adalah pengabdian dan tidak ada pengurus partai yang dibayar oleh partai," ucap dia.

"karena UU pemilu dalam frase nya hanya mengatur tentang pekerjaan lain yaitu pekerjaan yang sesuai keahliannya dia dibayar dan bukan masuk kategori sebagai pengurus partai," tambah Benny.

Langkah selanjutnya, Benny akan melaporkan masalah ini kepada dewan etik mahkamah konstitusi. Ini juga momentum bagi pihaknya untuk berkonsultasi dengan DPR terkait frasa 'pekerjaan lain'.

"Kita harus percaya, mereka yang di MK itu bukan para malaikat dan sumber kebenaran yang sangat absolute. mereka bisa keliru dan ceroboh dalam mengambil keputusan," ujar Benny.

"Sehingga salah satu hal misalnya ketika mereka melahirkan norma baru, frase, kemudian diintepretasikan sepihak sesuai selera mereka mungkin juga selera politik mereka bahwa pekerjaan lain yang dimaksud pasal 128 adalah pengurus partai itukan keliru," tutupnya.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi menegaskan, anggota DPD tidak bisa diberikan oleh pengurus partai politik. Hal ini disampaikan oleh para Hakim MK, pada saat yang sama telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pasal 182 huruf l, khususnya frasa 'pekerjaan lain', yang diajukan oleh perseorangan Muhammad Hafidz.

"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Majelis Hakim, Anwar Usman dalam persidangan diJakarta , Senin (23/7).

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menuturkan, dengan tidak adanya penjelasan terhadap frasa 'pekerjaan lain', dapat menimbulkan masalah dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai dengan peraturan dalam Surat Bahasa.***