JAKARTA - Kembali Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan laporan Kemiskinan Maret 2018 pada tanggal 16 Juli 2018.

Jumlah penduduk miskin, baik di kota maupun pedesaan pada bulan Maret 2018 mengalami penurunan dibandingkan jumlah penduduk miskin pada bulan September 2017.

Menurut BPS (2018) selama periode September 2017–Maret 2018, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun sebanyak 128,2 ribu orang (dari 10,27 juta orang pada September 2017 menjadi 10,14 juta orang pada Maret 2018), sementara di daerah perdesaan turun sebanyak 505 ribu orang (dari 16,31 juta orang pada September 2017 menjadi 15,81 juta orang pada Maret 2018). Meskipun demikian, jumlah penduduk miskin desa masih tetap lebih tinggi dari miskin kota.

Tidak hanya pada jumlah penduduk miskin, tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan desa juga unggul dari yang di kota.

Menurut BPS pada Maret 2018, nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) untuk daerah perkotaan sebesar 1,17, sedangkan di daerah perdesaan jauh lebih tinggi, yaitu mencapai 2,37. Sementara itu, nilai Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) untuk perkotaan adalah 0,29, sedangkan di perdesaan mencapai sebesar 0,63 (lihat grafik di bawah).

Data ini juga seirama dengan meningkatnya indeks gini atau ketimpangan di perdesaan pada Maret 2018 dibandingkan dengan indeks gini perkotaan yang justru menurun.

Menurut BPS ( 2018), Gini Ratio di daerah perkotaan pada Maret 2018 tercatat sebesar 0,401, turun disbanding Gini Ratio September 2017 yang sebesar 0,404 dan Gini Ratio Maret 2017 yang sebesar 0,407. Sementara itu, Gini Ratio di daerah perdesaan pada Maret 2018 tercatat sebesar 0,324, naik sebesar 0,004 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2017 dan September 2017 yang sebesar 0,320.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyampaikan, hal ini menandakan usaha tani penduduk desa belum bisa mengangkat tingkat kesejahteraan mereka, sehingga masih miskin di tengah kekayaan sumber daya pertanian desa. Bahkan kontribusi utama kemiskinan mereka, di antaranya adalah beras, gula pasir, telur ayam ras, ayam ras dan mie instan.

"Bagaimana bisa mengangkat mereka dari kemiskinan, bila lahan pertanian mereka sempit. Olehk arena itu Pemerintah perlu diingatkan tentang program pendistribusian lahan 9.2 juta lahan untuk mengatasi kemiskinan tersebut. Sementara berbagai ragam bantuan seperti bantuan sosial tunai, program beras sejahtera (Rastra) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) sebenarnya bersifat jangka pendek dan tidak menyelesaikan akar masalah kemiskinan itu sendiri," papar Henry kepada GoNews.co, melalui siaran persnya di Jakarta, Sabtu (21/7/2018).

Henry melanjutkan, tingkat kesejahteraan ataupun daya beli mereka tersebut bisa ditilik dari nilai tukar petani (NTP) di antara bulan-bulan ketika penghitungan jumlah penduduk miskin.

Dari grafik NTP di atas, terjadi penurunan NTP (total), NTP Perkebunan, dan hortikultura dari September 2017 ke Maret 2018.

Meskipun terjadi penurunan NTP, Menurut BPS, Nilai NTP yang berada di atas 100 memberikan sumbangan menurunnya jumlah penduduk miskin. Terkecuali pada NTP Perkebunan yang nilainya dibawah 100. Bahkan NTP Perkebunan mengalami penurunan hingga bulan Juni 2018.

"Sementara Pemerintah senantiasa mengandalkan hasil penjualan perkebunan sebagai sumber devisa. Ini berarti tidak ada nilai tambah yang nyata atas kemiskinan petani perkebunan rakyat," tuturnya.

Henry menambahkan, sebaliknya NTP Tanaman Pangan mengalami kenaikan dan bahkan sejak bulan Maret 2017. Namun demikian sebagaimana yang diungkapkan BPS, kenaikan harga beras yang cukup tinggi, yaitu mencapai 8,57 persen pada periode September 2017 – Maret 2018, disinyalir mengakibatkan penurunan kemiskinan menjadi tidak secepat periode Maret 2017 – September 2017.

"Pada periode Maret 2017 – September 2017, harga beras relatif tidak berubah," tutupnya.***