MEDAN - Kendati Pilgubsu 2018 berjalan relatif lancar, aman dan damai di seluruh wilayah di Sumatera Utara, masih terdapat kekurangan dalam penyenggaraannya. Terlebih jika dikaitkan dengan substansi demokrasi, di mana rakyat sebagai penentu terpilihnya pemimpin yang akan menjadi leader bagi seluruh proses pembangunan.

Direktur Eksekutif Perkumpulan Suluh Muda Indonesia, Kristian Redison Simarmata dalam pernyataan tertulisnya mengatakan, terdapat sejumlah parameter guna menyatakan Pilgubsu 2018 kehilangan substansi demokrasi.

Katanya, pertama, terbatasnya jumlah kandidat. Pasangan calon Gubsu yang hanya dua membuat figur yang merepresentasikan kepentingan rakyat terlalu minim. Parpol sebagai pengusung hanya berorientasi pada kemenangan, hal ini yang jadi biang keladinya.

"Rakyat jadi terpaksa memilih walau yang merepresentasikan kemauan atau pikirannya tidak ada," tegas Kristian.

Faktor kedua penyebab Pilgubsu kehilangan substansi demokrasi adalah pola kampanye pasangan calon yang belum lekang dari isu suku, ras, agama dan antar golongan (SARA).

Fakta bahwa Sumut selama ini masyarakatnya dikenal mengedepankan toleransi dan multikulturalisme menguap akibat persaingan merebut posisi gubernur oleh para pendukungnya.

Ungkap Kristian, upaya untuk mematikan atau membunuh karakter antar pesaing, baik perorangan maupun kelompok, terlihat mengemuka pada kontestasi Pilgubsu. Persaingan tidak terfokus pada program yang diusung yang seharusnya lebih diutamakan.

Ketiga adalah terkait penyelenggaraa, Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu. Dipaparkan, sejumlah kecurangan begitu telanjang terjadi pada proses penyelenggaraan Pilgubsu. Media sosial begitu masif menginformasikannya.

Apakah itu money politics, aksi saling fitnah, ujaran kebencian dan sebagainya. Namun okeh oleh penyelenggara tidak ada bentuk tindakan yang tegas ditetapkan bagi para pelaku. Tentu sikap itu menjadi ancaman yang mwncemaskan bagi penegakan demokrasi secara substansial.

Keempat, buruknya sistem kerja yang dijalankan KPU guna memastikan keterlibatan seluruh masyarakat menggunakannya hak pilihnya di Pilgubsu. Ada yang tidak wajar tentang cara kerja KPU sehingga warga yang memiliki e-KTP ternyata tidak tercatat dalam daftar pemilih tetap.

Pemilik e-KTP yang namanya masuk di dalam DPT justru tidak mendapat undangan atau formulir C-6. Kendari dengan berbagai kebijakan warga tetap dapat memilih namun tak bisa dihindari menimbulkan rasa malas warga datang ke TPS. Dalam hal ini keadilan demokrasi yang seharusnya didapatkan seluruh warga, okeh penyelenggara pemilu tidak dapat dipenuhi.

"Tidak cukup Pilgubsu berlangsung damai, lancar dan aman. Yang tak kalah penting substansi demokrasi yakni terciptanya keadilan bagi warga jangan sampai hilang dalam penyelenggaraannya. Itulah substansi demokrasi yang sesungguhnya," terang Kristia.***