MEDAN - Saat ini sudah 4 tahun setelah Kartu Indonesia Pintar (KIP) dibagikan, banyak ditemukan indikasi masalah akurasi data di lapangan. Parahnya, ditemukan pula siswa fiktif penerima KIP serta dugaan keterlibatan bank penyalur dana KIP. Tahun 2016 dilakukan pemadanan dengan Data Dapodik. Sebanyak 5 juta anak bersesuaian dengan data Dapodik, sedangkan 12.9 belum bersesuaian dengan data Dapodik (Data Pokok Pendidikan).

Oleh karena itu, Sentra Advokasi untuk Hak dan Pendidikan Rakyat (SAHDAR) bersama Indonesian CorruptionnWatch (ICW) melakukan survey selama November 2017 hingga Maret 2018 tekait penyaluran Program Indonesia Pintar di Kota Medan.

Prastio Hadi, Divisi Pelayanan Publik SAHDAR pada sebuah konferensi pers, Rabu (30/5/2018) di Medan mengatakan survey dilakukan dengan metode sampling sederhana terhadap 330 masyarakat miskin dan 448 Penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang tersebar di 33 Kelurahan di Kota Medan.

Dari hasil survey ditemukan bahwa terdapat 5 % penyaluran PIP/KIP terindikasi salah sasaran dikarenakan orang tua murid penerima Kartu Indonesia Pintar merupakan keluarga dengan pendapatan dengan kisaran Rp2.500.000,- sampai dengan di atas Rp5.000.000.

"Dan 38 % disalurkan kepada keluarga dengan penerima dana memiliki pendapatan berkisar di antara Rp.1.000.000,- sampai dengan Rp2.500.000," urai Prastio.

Selain itu juga disimpulkan terdapat permasalahan dalam penyaluran PIP/KIP kepada orang tua murid. Seperti masih ditemukan penerima PIP/KIP dari golongan PNS/Polri/TNI.

Selanjutnya sambung dia, juga ditemukan bahwa dana PIP/KIP dipotong dengan modus sumbangan sukarela oleh sekolah, sehingga orang tua murid sebagai penerima dana harus menyerahkan sejumlah uang dengan kisaran Rp10.000 sampai dengan Rp20.000 kepada pihak sekolah.

"Praktik potongan dana PIP/KIP ini juga tidak hanya dilakukan oleh sekolah, tapi juga dilakukan oleh bank penyalur dana PIP/KIP, dimana penerima dana tidak dizinkan untuk mengambil sepenuhnya dana yang telah disalurkan oleh pemerintah kepada rekening siswa penerima dana KIP/PIP, dengan kisaran Rp5000, sampai dengan Rp50.000," tegas Prastio.

Terkait penyaluran dana juga ditemukan bahwa penerima kartu PIP tahun 2015 sebagian besar mengaku sampai dengan saat ini belum menerima pencairan dana, meskipun mereka memiliki KIP/PIP.

Selama lima bulan proses survey ditemukan siswa fiktif, dimana ketika dilakukan crosscheck lapangan nama siswa tersebut tidak ditemukan di sekolah sehingga disimpulkan sebagai siswa fiktif.

Lebih lanjut penyaluran dana PIP juga sering dijadikan praktik percaloan dimana ada pihak-pihak yang mendagangkan jatah penerima KIP kepada orang yang mau membayar untuk menjadi penerima dana PIP

Melihat hasil survey yang telah dilaksanakan, imbuh Prastio, penting ke depannya untuk melakukan pendataan ulang terhadap masyarakat penerima bantuan sekolah PIP/KIP.

Karena pada saat melakukan survey terkait bantuan KIP/PIP ini, surveyor banyak menemukan masalah dan tidak tepatnya penyaluran dana. Hal ini juga perlu dilakukan evaluasi bagi sekolah dan bank penyaluran dana untuk tidak melakukan pemotongan dana, sebab adanya permintaan seperti ini secara otomatis bantuan yang diterima oleh anak tersebut menjadi berkurang.

"Belum lagi jumlah bantuan dana KIP/PIP yang belum memadai, oleh karenanya wajar saja terdapat 52% responden belum merasa terbantu terhadap program ini," tukas Prastio.