MEDAN - Universitas Sumatera Utara (USU) bersama Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) mengelar deklarasi anti korupsi. Deklarasi tersebut dilaksanakan dalam Festival Konstitusi dan Anti Korupsi di di Auditorium USU pada hari Selasa 15 Mei 2018 kemarin.

Menanggapi hal tersebut, akademisi sosial politik dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor Siregar angkat bicara.

Menurut Shohibul Anshor, kegiatan seperti ini amatlah bermanfaat untuk menambah barisan institusi dan kekuatan sosial politik yang memuji-muji KPK.

“Katakanlah seremoni lucu ini bukan inisiatif KPK, tetapi tujuan yang paling menonjol adalah pemenuhan kebutuhan atas terpenuhinya peredam kehausan KPK atas sebuah pengakuan tentang keberhasilan dalam memberantas korupsi,” katanya menjawab GoSumut di Medan, Kamis, (17/5/2018).

Bagaimana efektivitasnya?, Shohib mengatakan dengan nada tanya, kendati dalam acara ini misalnya bisa dihadirkan Jaksa Agung, Kapolri, Ketua DPD dan bahkan Presiden, sama sekali tidak akan efektif merubah keadaan koruptif.

“Bukankah dengan kegiatan ini benar-benar diminta agar rakyat percaya slogan dan seremoni yang dianggap begitu penting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia? Jangan khawatir, akan banyak orang yang percaya. Ingat bahwa salah satu titik lemah yang membuat lembaga-lembaga sejenis tak berprestasi di berbagai negara di dunia, adalah ketika mereka gagap untuk menegakkan ukuran objektif keberhasilan,” katanya.

Disebutkannya, KPK sebetulnya tidak mungkin tidak tahu bahwa saat ini ada kondisi yang terkadang memaksa orang wajib korupsi di lembaga dan kedudukan masing-masing.

“Misalnya bagaimana mungkin seluruh kepala daerah tidak korupsi jika sebelumnya untuk menjadi calon kepala daerah wajib bayar dengan jumlah fantastis kepada ‘amangboru’ dan ‘namboru’ pemilik partai yang mirip CV itu di Jakarta?,” sebut ketua Dewan Pimpinan Dearah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPD-IMM) Sumut periode 1986-1988 ini.

Selain itu, kata sekretaris umum Parsadaan Luat Pahae Indonesia (PLPI) ini, hingga hari ini model demokrasi pemilihan rektor di Indonesia adalah mutlaknya kewenangan (suara) Menteri sebesar 30 %.

“Oleh sebab itu, hanya malaikatlah yang tak tahu cara ‘berterimakasih’ jika sudah dihadiahi 30 persen suara agar ia menjadi rektor. Cara berterimakasih model ini sangat tak masuk akal untuk pemberantasan korupsi. Analogi untuk kejadian ini ialah, ada penyanyi yang naik pentas melantunkan lagu dangdut, tetapi musik pengiringnya adalah musik dengan genre jazz,” tandasnya.

Sebelumnya, USU merupakan universitas ketiga menjadi tuan rumah penyelenggara festival konstitusi dan anti korupsi oleh MK, KPK, MPR dan universitas.

Selain pameran konstitusi dan anti korupsi, dalam acara festival konstitusi dan anti korupsi itu digelar dengan talkshow bertema “Mengawal Demokrasi Konstitusi, Melawan Korupsi” yang menghadirkan nara sumber Ketua KPK Agus Raharjo, Ketua MK Anwar Usman, Bidang Pengkajian MPR Bambang Sadono dan Rektor USU Runtung Sitepu.

Sebelum talkshow digelar, keempat narasumber tersebut menandatangani dan mendeklarasikan komitmen bersama anti korupsi.