MEDAN - Rocky Gerung, akademisi Universitas Indonesia (UI) menyebut indeks Demokrasi di Indonesia mengalami penurunan drastis. Menurutnya, ada 3 hal yang membuat indeks Demokrasi menurun. Pertama, sistem Presidensial Threshold (PT) atau ambang batas pengusulan calon Presiden, meski Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 digelar serentak. Kedua, mengenai Perppu Ormas. Ketiga UU MD3.

"3 hal tersebut membuat indeks Demokrasi di Indonesia menurun," kata Rocky Gerung saat menjadi pembicara pada forum diskusi 20 Tahun Reformasi Indonesia Darurat Narkoba, di Medan Club, Jumat (11/5/2018).

Rocky juga menyebut anggota DPR sebagai pengemis di saat momentum Pemilu. Dimana, para calon anggota legislatif mengemis dan meminta suara kepada masyarakat.

Anggota DPR yang terpilih, lanjut dia, harusnya menjadi Watch Dog, atau menggonggong ketika pemerintah melakukan kesalahan. Sebab, yang berpotensi mencuri adalah pemerintah dan memang salah satu tugas dari DPR adalah pengawasan.

"Masyarakat itu harusnya menjadi tuan bagi anggota DPR, karena setiap pemilu mereka mengemis dukungan. Anehnya, ketika terpilih malah anggota DPR galaknya ke masyarakat, salah satunya adalah terciptanya UU MD3, kan aneh," tuturnya.

Menurutnya, kritik terhadap sebuah rezim merupakan bentuk kepedulian terhadap nasib bangsa.

"Kritik itu tanda bahwa demokrasi terbangun. Maka rakyat harus disadarkan bahwa literasi itu penting. Kita perlu baca baca baca bukan kerja kerja kerja agar publik cerdas. Sebab tugas pemerintah adalah mencerdaskan kehidupan bangsa," kata Rocky.

Diskusi yang dimoderatori Presidium Medan Jurnalis Club Muhammad Asril itu juga menghadirkan aktivis sosial Ratna Sarumpaet.

Ratna menilai sistem pemilihan kepala daerah dan anggota legislatif secara langsung setiap 5 tahun malah hanya melahirkan ribuan koruptor.

"Sekali 5 tahun itu, kita bukan menghasilkan atau memproduksi kepala daerah yang baik. Tapi, malah melahirkan ribuan koruptor," kata Ratna Sarumpaet saat menjadi pembicara pada forum diskusi 20 Tahun Reformasi Indonesia Darurat Narkoba, di Medan Club, Jumat (11/5/2018).

Ratna juga setuju ada anggapan yang menyebut orang baik saat ini tidak bisa berbuat banyak untuk kebaikan negeri Indonesia.

"Memang gak bisa orang baik berbuat, siapa orang baik yang mau jadi anggota legislatif, sementara biaya yang dikeluarkan begitu besar," sebutnya.

Ratna juga menyindir sistem politik di Indonesia saat ini berada di tangan para penyamun. Sebab, para politisi yang melakukan korupsi, suap dan menghalalkan segala cara untuk mencari keuntungan pribadi.

Selagi jumlah partai politik di Indonesia masih banyak, Ratna Sarumpaet memprediksi korupsi masih akan tetap terjadi. Apalagi, parpol masih membiayai operasionalnya sendiri.

"Partai politik tidak boleh terlalu banyak, partai tidak boleh cari duit, partai harus dibayar dan dibiayai negara, agar tidak berbuat yang macam-macam, melacurkan UU dan meminta suap ke departemen-departemen," bebernya.

Sementara narasumber lainnya, Ketua KNPI Sumut Sugiat Santoso menilai perjalanan 20 tahun reformasi masih sebuah tanda tanya.

"Karena tema diskusi ini menyinggung Indonesia Darurat Korupsi, maka saya harus mengatakan bahwa pemberantasan korupsi masih terkesan tebang pilih dan dipolitisasi oleh kebijakan," kata Sugiat.

Diskusi Satu Forum 20 Tahun Reformasi akan berlanjut ke Kampus UISU Medan, Sabtu (12/5/2018) dengan narasumber yang sama.