MEDAN - PT. Bumi Sama Ganda (BSG) dinilai telah merampas harta milik PT. Bahari Dwi Kencana Lestari (BDKL), sekaligus melakukan pembohongan publik dengan 'memelintir' muatan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri (PN) Medan. Tim Kuasa Hukum PT. BDKL mengungkapkan hal ini kepada wartawan di Medan, Senin (7/5/2018).

"Apa yang dirilis oleh PT. Bumi Sama Ganda lewat sebuah media online merupakan pembohongan publik. Fakta sebenarnya adalah perusahaan itu telah merampas harta milik PT. Bahari Dwi Kencana Lestari," ujar advocat Iskandar Syahputra, S.H. dari Kantor Pengacara Ramli Tarigan, S.H. & Rekan.

Dijelaskannya, persoalan ini bermula dari putusan Pengadilan Niaga pada PN Medan dengan register perkara No.: 06/Pdt-Sus-Pailit/2016/PN.Niaga.Mdn tanggal 09 Mei 2016. Putusan tersebut pada pokoknya menyatakan PT. Dwi Kencana Semesta (DKS) dalam kondisi bangkrut atau pailit.

Oleh PT. BSG, putusan tersebut dipelintir dengan menyebut perusahaan yang dinyatakan bangkrut adalah PT. BDKL. Dan, sebagai pemenang atas pelelangan yang diselenggarakan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Lhokseumawe pada 24 April 2018 dengan kode lelang YA4S50, PT. BSG mengklaim hak keperdataan lahan seluas 199.998 meter dan pabrik kepala sawit (PKS) yang berdiri di atasnya telah beralih dari PT. BDKL menjadi milik PT. BSG.

Sebagaimana yang diketahui, lahan dan PKS itu berada di Kecamatan Rantau, Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh.

Melalui pemberitaan sebuah media online edisi 1 Mei 2018, Ardiansyah selaku Direktur PT. BSG menegaskan pihaknya tengah melakukan pengosongan pabrik, sekaligus menghentikan seluruh produksi PKS yang dilakukan PT. BDKL.

“Begitupun, semua karyawan lama akan kita tampung kembali dan semua diminta untuk menunggu kebijaksanaan dari manajemen baru, yaitu PT. Bumi Sama Ganda,” katanya dalam pemberitaan itu.

Tim Kuasa Hukum PT. BDKL menduga, aksi perampasan dan pembohongan publik yang dilakukan PT. BSG melibatkan kurator, hakim pengawas dan KPKNL Lhokseumawe. Sekali lagi ditegaskan, yang diputuskan pailit oleh Pengadilan Niaga PN Medan sebenarnya adalah PT. DKS.

"Alas hak (sertifikat hak guna usaha/SHGU) atas kebun/tanah yang di atasnya berdiri PKS PT. BDKL sebenarnya hanya terpasang sebagai jaminan debitur pada BNI Cabang Pemuda Medan, yang sudah diselesaikan," tukas Iskandar lagi.

Lebih dari itu, alas hak tersebut telah disita Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu), sebagaimana Penetapan PN Medan No.: 25/ SIT/ PID.SUS.K/ 2011/PN.MDN., tanggal 10 Nopember 2011. Karena itu, Iskandar menyebut pelelangan atas PKS milik PT. BDKL yang dilakukan kurator PT. DKS melalui KPKNL Lhokseumawe merupakan perbuatan melawan hukum.

"Sebab, pemegang saham PT. DKS selaku debitur BNI telah membayar Rp31,5 miliah untuk mendapatkan hak retensi (jaminan) agar aset yang disita tidak dilelang," tambahnya.

Berdasarkan kondisi objektif yang ada, lanjut dia, PT. BDKL telah mengajukan keberatan atas pelelangan aset tersebut, melalui Hakim Pengawas perkara pailit Reg. No.: 06/Pdt-Sus-Pailit/2016/PN.Niaga.Mdn, sebagaimana ketentuan Pasal 77 UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang.

"Makanya kami menyebut pengambilalihan aset PT. BDKL oleh PT. BSG itu sebagai sebuah aksi perampasan. Dan, klaim yang disampaikan mereka merupakan bentuk pembohongan publik. Untuk diketahui, pelelangan aset itu juga tidak mengikutsertakan pihak appraisal dan PT. DKS," tukas pengacara berpostur besar ini.

Dijelaskannya, berdasarkan harga pasaran mengacu perhitungan appraisal, harta milik BDKL bernilai Rp80 miliar. Namun, nilai lelangnya hanya Rp27,8 miliar.

"Kondisi ini mengindikasikan telah terjadi perampasan harta orang, dengan berlindung di balik penetapan pengadilan," bebernya.

Parahnya lagi, lanjut dia, pelelangan tersebut otomatis merugikan PT. BNI yang notabene badan usaha milik negara (BUMN). Kondisi ini sekaligus dapat diartikan bahwa BNI tidak lagi melindungi, melainkan turut membangkrutkan nasabahnya.

"Hemat kami, aparat penegak hukum mesti turun tangan melakukan penyelidikan. Sebab, peristiwa ini terindikasi kuat sebagai praktik korupsi berjamaah," pungkasnya.

Sementara itu, Yulianda, salah seorang petugas lelang KPKNL yang menangani pelelangan aset PT. BDKL mengaku tidak berani berkomentar saat dihubungi via seluler, Minggu (6/5/2018).

Dia berjanji menjawab pertanyaan yang juga diajukan via WhatsApp keesokan hari. Namun, hingga Senin (7/5/2018) petang, jawaban yang ditunggu tak juga muncul. *