JAKARTA - Rupiah semakin melemah. Pada transaksi di pasar spot Senin (23/4), nilai tukar rupiah ditutup melemah 0,59% ke posisi Rp 13.975 per dollar AS. Kurs tengah BI juga memperlihatkan, rupiah menyusut 0,65% ke level Rp 13.894 per dollar AS.

Pelaku pasar saham pun merespons negatif koreksi rupiah. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kemarin ditutup turun 0,47% menjadi 6.308,15.

Pelemahan rupiah turut mengancam prospek sejumlah emiten, terutama yang bergantung pada bahan baku impor, namun memiliki orientasi pasar domestik.

Analis Paramitra Alfa Sekuritas, William Siregar, menilai kinerja emiten di sektor poultry seperti JPFA dan CPIN bisa terpengaruh jika rupiah terus melemah. Apalagi jika emiten memiliki utang luar negeri dan tidak menggunakan mekanisme hedging. "Ini berisiko karena beban utang semakin tinggi," kata dia.

Memang, kebanyakan perusahaan akan melakukan hedging jika mengambil utang luar negeri. Jika tidak hedging dan apabila debt to equity ratio (DER) sudah melewati 1x, maka ini menjadi lampu kuning bagi emiten.

Analis Binaartha Parama Sekuritas, Muhammad Nafan Aji mengungkapkan, masih banyak emiten yang bergantung pada bahan baku impor, termasuk emiten farmasi seperti KAEF, INAF dan KLBF. "Ketimbang yang diuntungkan, lebih banyak emiten yang dirugikan atas pelemahan rupiah. Kan banyak emiten yang bahan bakunya impor, tapi menjual produknya dalam rupiah," ungkap dia.

Sebaiknya investor mencermati fundamental emiten, dengan menunggu rilis laporan keuangan kuartal I-2018. Jika kinerja emiten ternyata bagus di tengah pelemahan rupiah sejak awal tahun, maka pelemahan rupiah tak memberikan dampak negatif.

Namun, jika kinerjanya jelek, maka nilai tukar rupiah benar-benar memukul emiten tersebut. "Sampai nanti ada rilis laporan keuangan Q1-2018, investor sebaiknya wait and see terhadap saham emiten-emiten seperti CPIN, JPFA, KAEF, KLBF, dan INAF," kata Nafan.

Saat dikonfirmasi, Direktur Utama KLBF, Vidjongtius, menyebutkan saat ini pihaknya masih memantau pergerakan rupiah sambil memperhitungkan biaya produksi dan antisipasi efisiensi yang bisa dilakukan.

"Jadi belum ada action langsung. Kami ingin mencoba menggunakan komposisi produk yang beragam untuk meminimalkan dampak rupiah," kata Vidjongtius, yang mengakui bahan baku obat masih banyak impor, sehingga pengaruh rupiah masih sangat penting.***