BUKITTINGGI - Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, Ridha Ahida, menanggapi polemik terkait larangan bercadar termasuk adanya somasi Aliansi Umat Islam Sumatera Barat yang berada di bawah koordinasi GNPF Ulama Bukittinggi-Agam baru-baru ini. Respons rektor dalam bentuk surat yang berjudul ''Tanggapan IAIN Bukittinggi''. Surat ini diantar oleh Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK), Nunu Burhanuddin, kepada Ketua Tim Delegasi GNPF Ulama Bukittinggi-Agam, Buya Busra Khatib Alam, kemarin pukul 19.00 WIB di Bukittinggi, Sumbar.

Dalam surat itu, Ridha menyampaikan bahwa Surat Edaran tertanggal 20 Februari 2018 yang ditandatangani oleh Dekan FTIK adalah imbauan kepada mahasiswa FTIK agar tidak melanggar kode etik berpakaian bagi perempuan.

Surat edaran itu isinya, ''Bagi perempuan memakai pakaian agak longgar, jilbab tidak tipis, dan tidak pendek, tidak bercadar/masker/penutup wajah, memakai sepatu dan kaos kaki. Bagi yang tidak mematuhi tidak diberikan layanan akademik,'' sebagaimana diceritakan kepada hidayatullah.com oleh Buya Busra sebagaimana dikutip GoSumbar.com, Kamis (22/03/2018).

Surat edaran ini, kata Ridha, dikeluarkan agar mahasiswa sebagai penerima layanan akademik dan non-akademik di fakultas dapat dilayani dengan baik sesuai ketentuan yang ada. Selain itu, tambahnya, juga agar proses belajar mengajar bersifat interaktif, holistik, integratif dan berpusat pada mahasiswa serta evaluasi atau ujian berjalan dengan baik, terukur, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Ia juga menyampaikan, surat itu adalah aturan bagi mahasiswa dan berlaku hanya di kampus selama pelayanan akademik diberikan dan diterima oleh mahasiswa.

Kata Ridha, ''Surat edaran ini kemudian viral di media sosial dan diberikan komentar-komentar yang bernada negatif dan tendensius oleh orang-orang yang tidak mengetahui isi surat edaran dan tujuannya secara utuh. Kata ''tidak bercadar'' menjadi fokus komentar banyak penanggap di media sosial dan kata ''tidak bercadar'' diambil secara parsial. Kondisi inilah yang menjadi awal munculnya opini menuding IAIN melarang mahasiswa bercadar, islamophobia, sekuler, menghina simbol-simbol Islam dan memberangus HAM.''

Surat edaran ini menurutnya disalahpahami dan ditarik ke ranah lain yang semuanya sudah keluar dari isi dan tujuan surat edaran tersebut.

''Bahkan tidak hanya disalahpahami tetapi diduga sudah ditumpangi oleh kepentingan lain yang sama sekali berbeda dari isi dan tujuan surat,'' tudingnya.

Ia ubah surat edaran di atas menjadi, ''Bagi perempuan memakai pakaian longgar tidak tipis dan tidak pendek, memakai jilbab/mudawarah dalam, memakai sepatu dan kaos kaki serta tidak memakai penutup wajah pada layanan atau kegiatan akademik di lokal (kelas - red), perpustakaan, labor dan kantor administrasi.''

Soal dosen Hayati Syafri, yang dilarang mengajar karena bercadar, Ridha mengatakan hal itu berkaitan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan Hayati sebagai tenaga pengajar yang tidak dapat berlangsung dengan efektif, efisien, terukur, dan dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Sampai saat ini, kata Ridha, Hayati adalah PNS/ASN di IAIN Bukittinggi dan mengisi absensi/finger print kehadiran tiap hari. Segala hak-haknya diterima sebagaimana ASN lain sesuai ketentuan.

Ia menyampaikan, dosen harus mematuhi ketentuan yang dibuat oleh perguruan tinggi. Perguruan tinggi memiliki otonomi mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi. Otonomi dimaksud terdiri dari akademik dan non-akademik. Otonomi akademik meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian sesuai perundang-undangan. Sedangkan non-akademik meliputi organisasi, keuangan, dan ketenagaan (PP 4/2014).

''Dosen sebagai tenaga kependidikan dan ASN dalam melaksanakan dinas harus mematuhi semua ketentuan-ketentuan kedinasan yang telah ditetapkan baik melalui UU, PP, dan Permen ataupun yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang bagi setiap PNS/ASN wajib ditaati (PP 53/2010),'' katanya.

Berdasarkan penjelasannya di atas Ridha mengklaim kampusnya mengacu pada aturan yang ada, tidak diskriminatif dan melanggar HAM.

''IAIN Bukittinggi tidak pernah mencurigai adanya penyusupan ajaran lain di balik penggunaan penutup wajah. Semua itu adalah sesuatu yang jauh dari visi dan misi IAIN Bukittinggi,'' akunya.

Sebelumnya, hidayatullah.com telah berkali-kali meminta klarifikasi langsung ke Rektor IAIN Bukittinggi lewat berbagai upaya baik telepon maupun pesan singkat namun tak kunjung diberikan langsung hingga saat ini. ***