MEDAN - Menurut Pengamat Ekonomi Sumatera Utara (Sumut), Gunawan Benjamin mata uang rupiah belakangan memang terus mendapatkan tekanan dari penguatan US Dolar. 

Sejauh ini, pelemahan rupiah masih di bawah 13.800. tekanannya memang belum mereda, walaupun bukan jaminan rupiah akan melemah lebih dalam lagi.

“Masalah pelemahan rupiah belakangan ini memang dipicu oleh sikap optimis Bank Sentral AS atau The FED yang cenderung akan menaikkan suku bunga acuan Bank Sentral AS di tahun ini. Nah, letak masalah ini yang saya kira perlu kita pelajari lebih dalam lagi. Jika kita berbalik ke masa sebelumnya, di mana selalu ada rencana kenaikan suku bunga acuan The FED. Atau ekspektasi kenaikan suku bunga tersebut terasa seperti saat sekarang ini. Tetapi fakta kerap berbicara lain. Meskipun sikap optimis ditambah dengan ekspektasi yang begitu kuat terhadap rencana kenaikan suku bunga The FED. Namun, kenaikan suku bunga itu sendiri baru terjadi belakangan. Bahkan jaraknya juga tidak berdekatan,” katanya, Rabu (7/3/2018).

Lankutnya, sejak isu mencuat hingga realisasinya itu memakan waktu berbulan-bulan. Bahkan kenaikan suku bunga terjadi lebih dari 6 bulan setelah isu atau rencana kenaikan suku bunga itu mencuat. Sehingga apa yang dihadapi oleh rupiah saat ini adalah ekspektasi, bukan kenaikan suku bunga acuan itu sendiri. Walaupun pasar telah merespon jauh hari sebelum direalisasikan.

“Ekspektasi ini memicu kenaikan Yield surat utang, yang memicu kekuatiran adanya pembalikan modal. Mengingat surat hutang yang diterbitkan oleh kita, sebagian dimiliki oleh asing. Artinya memang asing ini bisa memindahkan dananya kapan saja sesuai kebutuhannya. Nah disini lah rupiah mengalami tekanan, padahal kenaikan suku bunganya belum terjadi sama sekali. Jadi ada yang perlu dimaintain dalam jangka pendek. Yaitu volatilitas tingkat imbal hasil yang memicu pelemahan rupiah. Walaupun, disisi lain kita bisa saja meragukan bahwa The FED akan menaikkan suku bunganya dalam waktu dekat. Saya melihat isu atau rencana (The FED Fund Rate naik) sih boleh boleh saja. Tetapi realisasinya nanti tidak terlepas dari data data perekonomian di AS,” terangnya.

Untuk itu, sambungnya kita bisa menyangkal bahwa kenaikan suku bunga di AS secara cepat justru membuat mereka menjadi tidak kompetitif. Sehingga kita bisa menyimpulkan memang bahwa pasar saat ini bereaksi terlalu berlebihan terhadap rencana tersebut. Walaupun demikian kita tetap mewaspadai volatilitas rupiah akibat rencana kenaikan tersebut.

Nah dalam konteks seperti ini intervensi rupiah memang dibutuhkan. Walaupun biayanya cukup mahal, karena mengurangi besaran cadangan devisa.

“Saya menilai pemerintah perlu mensosialisasikan serangkaian kebijakan kerjasama pertukaran (swap) mata uang dengan negara lain. Sekalipun pada dasarnya kerjasama tersebut sudah di sepakati.Kenapa perlu disosilaisasikan, karena pasar juga butuh untuk diyakinkan, bahwa kita masih mampu mengelola atau lebih tepatnya menjaga Rupiah. Secara psikologis pasar butuh diyakinkan secara verbal seperti itu. Jadi tidak melulu harus lewat intervensi saja,” pungkasnya. (Anita)