LANGKAT - Berakhir sudah konflik antara petani penggarap dan petani korban konflik Aceh dengan pihak Balai Taman Nasional Gunung Leuser (BTNGL). Kini, pemerintah memberikan hak pengelolaan kawasan TNGL kepada petani.

Akhirnya, di era kepemimpinan Joko Widodo sebagai Presiden RI telah mengeluarkan kebijakan dengan Peraturan Presiden RI Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan. Dalam beleid tersebut dinyatakan bahwa seluas 6.000 hektar ekosistem TNGL yang gundul dan didiami perambah, kini bisa dikelola melalui izin perhutanan kemitraan dan kehutanan sosial sebagai payung hukum pengelolaan kawasan hutan tanpa ada konflik dan pengusiran.

Pada Kamis (23/2/2018), Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Wiratno, Kepala Balai TNGL, Misran dan staf Kepresidenan RI turun ke lapangan tembak di Desa Sei Minyak, Kecamatan Besitang, Langkat.

Mereka mengadakan deklarasi kesepakatan kepada 11 Kelompok Tani Hutan, ratusan petani untuk pengelolaan hutan lestari, menjadikan masyarakat sejahtera.

Deklarasi diikuti Sultan Langkat, Sultan Azwar Abdul Djalil Rahmadsyah dan Asisten I Pemkab Langkat, Abdul Karim mewakili bupati.

Wiratno yang mantan Kepala Balai TNGL, mengakui, pihak TNGL masa lalu penuh bertikai dengan ratusan petani penggarap.

"Ada 6.000 hektar kawasan hutan yang rusak dan terambah oleh petani dari 30.000 hektar kawasan hutan TNGL di Langkat, Aceh Tenggara dan Gayo Luwes yang ada. Dan selama 20 tahun lebih konflik horizontal dihadapi. Tetapi masa lalu itu tidak perlu lagi terulang,” kata Wiratno.

Dijelaskan Wiratno, mulai saat ini kawasan hutan tidak lagi menjadi persoalan. Petani melalui kelompok tani hutan dapat mengelolanya, tetapi bukan memiliki.

"Kita kelola bersama dengan tanaman yang bisa menghasilkan, dan tanpa menimbulkan permasalahan, sehingga hutan lestari rakyat sejahtera,” jelasnya.

Wiratno pun mensujudkan kepalanya ke tanah, seketika menghapus kenangan massa lalu dan bersyukur pada Tuhan.

"Mulai detik ini jangan lagi ada konflik dan pertikaian antara petani dengan TNGL, seperti yang kita alami dahulu sewaktu saya menjabat Kepala Balai TNGL. Sekarang tidak ada lagi permasalahan, tidak ada lagi petani penggarap, tetapi petani hutan yang menjaga kawasan TNGL,” urai Wiratno dengan linangan air mata.

Abdul Karim menambahkan, kawasan TNGL ini pada satu sisi merupakan sumber paru-paru dunia. Di sisi lain menjadi sumber keprihatinan terhadap persoalan yang muncul, khususnya yang terjadi di Kecamatan Besitang.

"Kami menyambut baik diselenggarakannya kongres petani hutan, mudah-mudahan melalui kegiatan ini mendapatkan solusi penyelesaian permasalahan kawasan TNGL", katanya.

Sultan Langkat, Azwar Abdul Djalil Rahmadsyah, mengatakan, 20 tahun lebih permasalahan di Besitang baru ini mendapat titik terang.

"Masa lalu kita lupakan. Saya apresiasi deklarasi kelompok tani. Masyarakat adat akan melindungi masyarakat yang ada di Besitang,” ujarnya.