JAKARTA - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira memprediksi utang pemerintah pada 2018 akan meningkat. Selain agresivitas membangun infrastruktur, ada kenaikan belanja untuk bantuan sosial.

Kenaikan utang tersebut menurutnya, akan berdampak pada beban pembayaran bunga utang pada tahun depan.

"Pembayaran bunga utang tahun depan meningkat cukup signifikan dari Rp 218 triliun pada 2017 menjadi Rp 247 triliun dalam APBN 2018 atau naik Rp 29 triliun. Selain itu, pada 2018 utang jatuh tempo yang harus dibayar tercatat sebesar Rp 369 triliun," kata Bhima pada Selasa (26/12/2017).

Namun demikian, menurut Bhima, tanggungan pemerintah untuk membayar utang Rp 616 triliun tersebut setara dengan 32 persen dari total pendapatan negara.

Hal itu diakibatkan naiknya pembayaran bunga dan pokok utang jatuh tempo, ruang untuk melakukan stimulus fiskal jadi terbatas. Defisit anggaran terancam membengkak.

"Kalau dihitung, total utang pemerintah tahun depan diproyeksi bisa menyentuh angka Rp 4.300 triliun," kata Bhima.

Angka itu telah menembus ambang aman, menurut pemerintah sebesar 30 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Sementara itu, Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih menuturkan, kenaikan utang pemerintah masih berada dalam batas wajar. Dengan kata lain, kemampuan pemerintah dalam membayar utang masih baik.

Hal tersebut dipertegas dengan lembaga pemeringkat utang Fitch Ratings yang baru saja menaikkan peringkat investasi Indonesia menjadi BBB atau satu level di atas ambang minimal layak investasi. Fitch juga mempertahankan proyeksi peringkat utang (sovereign credit rating) Indonesia masih dalam posisi stabil.

"Kemampuan pemerintah Indonesia dalam membayar utang itu masih dinilai manageable.Bahkan, masih ada kelonggaran buat pemerintah untuk menambah utang tahun depan," kata Lana.

Lana menambahkan, kondisi utang pemerintah masih relatif lebih aman daripada negara-negara emerging market lainnya seperti India dan Brasil. Rasio utang terhadap PDB dua negara tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan Indonesia.

Begitu juga negara-negara maju yang sering mengucurkan utang kepada pemerintah Indonesia seperti Jepang dan Amerika Serikat (AS). "Tidak ada negara yang tidak berutang. Amerika saja yang sering kasih utang ke kita, utangnya sendiri sampai 100 persen terhadap PDB mereka. Begitu juga Jepang, rasio utang mereka malah 220 persen terhadap PDB-nya," katanya.

Direktur Strategi dan Portofolio Utang Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Scenaider Siahaan mengatakan, pasar surat berharga negara (SBN) Indonesia cukup dalam dan likuid.

Dengan demikian, refinancing SBN jatuh tempo dapat dilakukan pemerintah.

Hal tersebut menjadi sebuah kesempatan yang baik untuk membiayai semua program prioritas pemerintah tanpa harus mengalokasikan dana secara sebagian atau seluruhnya untuk membayar SBN yang jatuh tempo.

"Dengan kata lain, tidak ada pembatasan ruang gerak fiskal pemerintah akibat pembayaran utang jatuh tempo. Kecuali dalam kondisi pasar obligasi yang tidak likuid dan dangkal, upaya untuk refinancing utang yang jatuh tempo tidak mungkin dilakukan penerbit," tandasnya. ***