JAKARTA - Airlangga Hartarto telah ditunjuk sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar. Dia dipilih melalui rapat pleno untuk mengisi posisi Ketua Umum Golkar yang lowong setelah Setya Novanto berstatus tersangka dugaan korupsi proyek e-KTP.

Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi mengatakan, penetapan Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Golkar secara segera ini memiliki dampak baik dan buruk.

Dampak positifnya, konsolidasi di internal Partai Golkar akan lebih ringan dengan menyelesaikan persoalan di tingkat pleno untuk dilanjutkan ke Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar.

"Jadi Golkar akan lebih cepat menyelesaikan persiapan agenda politik pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019," ujar Burhanuddin dalam sebuah diskusi di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Sabtu (16/12/2017).

Dengan begitu, kata Burhanuddin, Golkar tidak perlu repot-repot saling tikam di internal partai dalam menghadapi pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019. Sebab, selama lima tahun terakhir ini, Golkar selalu diwarnai dengan drama-drama politik di internalnya.

"Tapi minusnya, Golkar tidak dapat kesempatan lagi membetot perhatian lebih dari masyarakat," kata dia.

Golkar akan kehilangan kesempatan menjadi center atraction secara terus-menerus. Media akan beralih ke isu lain ketika drama-drama politik di Golkar tidak terlihat lagi.

"Karena dalam politik menjadi pusat perhatian itu penting," ucap Burhanuddin.

Dia mengatakan, terpilihnya Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Golkar merupakan hal yang wajar. Sebab, sejarah menunjukkan bahwa nakhoda partai berlambang pohon beringin itu tak pernah lepas dari lingkaran kekuasaan.

"Pak JK menang karena waktu itu wapres. Kemudian Pak Aburizal Bakrie karena waktu itu kuat mendukung SBY jilid II. Dan Setnov juga waktu itu karena dapat restu dari kekuasaan," kata dia.

Hal itu pula, kata Burhanuddin, yang kini dialami Airlangga. Dia mendapatkan dukungan yang sangat kuat dari dalam dan luar partai. Apalagi Airlangga sebagai Menteri Perindustrian menunjukkan bahwa dia cukup dekat dengan penguasa saat ini.

"Ini yang membuat lawannya ngeper duluan. Ibaratnya, melawan Airlangga sama saja dengan menabur garam ke laut," tandas Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia itu. ***