JAKARTA - Pada sesi diskusi dalam gelar acara Simposium Nasional MPR RI 2017, Senin (11/12) dengan tema ‘Mencari Kesamaan Visi Antar Pemeluk Agama Untuk Kebersatuan Indonesia, Romo Mudji seorang tokoh agama, Budayawan, Guru Besar STF Driyakarya dan Dosen Pasca Sarjana Universitas Indonesia membawakan materi soal Kemajemukan.

Dalam paparannya, Romo Mudji menerangkan bahwa keragaman suku, identitas budaya lokal, religi yang beraneka ragam di Indonesia merupakan sumber mata air, daya hidup bangsa Indonesia.

Indonesia secara kultural hanya akan terus ada dan eksis bila terus menenun keragamannya sebagai bangsa menjadi negara Republik Indonesia yang bersatu dan berdaulat seperti yang tertulis dalam mukadimah konstitusi 1945.

“Kemajemukan dan keikaan ketika diformat menjadi jalan politik. Ini harus dipahami, politik sebenarnya sebagai usaha dan ikhtiar untuk membuat tata hidup bersama lebih berharkat dalam masyarakat dan pasti akan memuat etika sebagai acuan yang baik,” katanya.

Itulah, lanjut Romo, politik yang beretika yang sesungguhnya. Bangsa Indonesia pantas bersyukur karena para pendiri bangsa sudah memberikan dasar-dasarnya dalam proses dari bangsa majemuk ke negara kesatuan.

Politik etis religiusnya kata dia jelas ada, yakni di sila pertama dari lima sila Pancasila.

“Para pendiri bangsa sudah sangat bijaksana sekali mengelola. Disatu pihak kemajemukan dan dilain pihak harus ada keputusan yang melegakan kebenaran bersama dari kebenaran masing-masing yang beda kepentingan," paparnya.

"Mereka bijaksana karena ‘inti kebenaran’ itu tidak bisa divoting. Alasannya antara lain, kebenaran utuh itu hanya satu yaitu Tuhan sebagai kebenaran ilahi. Sedangkan kebenaran-kebenaran insani itu parsial, terbatas, relatif dan berlapis-lapis," tandasnya.***