MEDAN - Serbuan tenaga kerja asing (TKA) yang belakangan melanda Indonesia perlu diwaspadai. Untuk itu, regulasi terkait pembatasan TKA perlu segera dibuat agar iklim sosial dan ekonomi Indonesia tidak terganggu. Ketua Pansus TKA DPD Fahira Idris SE MH mengatakan, regulasi yang memudahkan masuknya TKA di Indonesia perlu segera direvisi. Misalnya, soal perjanjian kerja sama government to goverment (G to G) dengan sistem turn key project management dan pembebasan visa asing yang diatur dalam Perpres 21/2016.

"Saya melihat dua aturan itu perlu ditinjau ulang, karena akan berdampak pada mudahnya orang asing datang ke Indonesia tanpa pengawasan yang ketat. Kalau ini tidak diwaspadai segera, maka stabilitas keamanan, ekonomi dan sosial kita akan kacau," ujar Fahira dalam Focus Group Discussion (FGD) Komite III DPD RI bertajuk 'Menyoal Fenomena Serbuan TKA ke Indonesia' di gedung Biro Rektor Kampus USU, Kamis (16/11/2017).

Hadir dalam FGD tersebut, anggota DPD RI adal Sumatera Utara Dedi Iskandar Batubara, Disnaker Sumut, Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Medan, Wakil Rektor III USU Mahyudin Nasution, sejumlah akademisi dan para mahasiswa pascasarjana USU.

Menurut Fahira, hal yang perlu dikritisi juga adalah terbitnya Permenaker 16/2015 yang menghapus kewajiban berbahasa Indonesia bagi TKA. Selain itu, terbitnya Permenaker 35/2015 yang menghapus rasio 1: 10 bagi TKA dengan TKI pendamping.

"Di Pansus TKA kami juga menemukan banyak ketidaksesuaian antara keahlian si tenaga kerja asing dengan jabatan yang didudukinya. Parahnya lagi, di beberapa mess TKA disinyalir disediakan mess rumah bordir," cetusnya.

Anggota DPD RI asal Sumatera Utara Dedi Iskandar Batubara menyampaikan hal senada. Diutarakanya, regulasi terkait TKA perlu dievaluasi dan masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan.

"Ini penting karena ternyata ada peraturan G to G yang memaksa kita untuk memakai produk asing dan tenaga kerja asing. Memang kita butuh investasi untuk mempercepat pembangunan, tapi posisi tawar kita juga harus kuat. Produk lokal kita banyak yang bagus, tenaga kita banyak yang ahli tapi kenapa harus memakai produk luar," sebut Dedi.

Sementara, Ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan USU, Coki Ahmad Syahwier yang menjadi narasumber utama dalam FGD itu menegaskan, perlu ada standarisasi kualifikasi terhadap TKA. Dibutuhkan pemetaan kebutuhan TKA untuk sektor industri manufaktur, jasa dan keuangan.

Tak hanya itu, butuh juga menetapkan formula ukuran rasio penggunaan TKA dibandingkan dengan angka angkatan kerja dalam negeri yang wajar bagi perekonomian sosial.