MEDAN-Pembangunan pariwisata di kawasan Danau Toba tidak harus memberangus atau 'membunuh' sektor perikanan budidaya melalui keramba jaring apung (KJA) yang selama ini menjadi sumber utama pencaharian masyarakat sekitar.

"Sebab itu akan berdampak buruk bagi perekonomian dan kelangsungan hidup masyarakat di Danau Toba. Pariwisata harus bisa bersinergi dengan sektor perikanan atau sebaliknya sektor perikanan menjadi bagian dari pengembangan pariwisata Danau Toba," kata Fasilitator Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Kementerian Pariwisata (Kemenpar) Edy Syahputra Sitepu.

Menurut Edy Sitepu, dalam konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan ada empat poin yang harus diperhatikan pemerintah baik provinsi maupun kabupaten yang berada di kawasan lingkar Danau Toba.

Pertama kata dia, melakukan perencanaan yang berkelanjutan. Di mana segala bentuk kegiatan rencana pembangunan pariwisata harus terprogram dalam rencana induk pembangunan pariwisata daerah (Ripparda). Dan, itu harus matching antara pemerintah provinsi, kabupaten/daerah dan nasional.

Kedua, pemberdayaan dan penguatan ekonomi masyarakat secara berkelanjutan. Artinya, kalau selama ini perekonomian masyarakat bertumpu pada sektor perikanan budidaya melalui KJA, maka hal itu jangan dulu ditutup sampai pariwisata bisa memberikan perekonomian yang baik bagi masyarakat sekitar.

"Jangan KJA dipaksa tutup sementara pariwisata belum membuahkan hasil bagi pendapatan masyarakat. Masyarakat mau makan apa. Kalau itu dipaksakan juga, yang ada justeru akan terjadi kekacauan. Dan, itu tidak termasuk dalam konsep pembangunan pariwisata yang berkelanjutan," kata Edy.

Poin ketiga, lanjut dosen Politeknik Negeri Medan (Polmed) ini, jangan menghilangkan budaya yang ada. Tetapi bagaimana budaya itu bisa digunakan untuk menarik wisatawan. Budaya itu harus menjadi bagian dari objek wisata.

Dan terakhir, kata Edy, lingkungan harus diselamatkan. Sebagai contoh kata dia, KJA yang sudah ada di kawasan Danau Toba yang selama ini dianggap sebagai sumber pencemar harus dicarikan solusinya. Apakah dengan menciptakan pakan yang ramah lingkungan, atau menciptakan teknologi yang mampu menekan pencemaran air Danau Toba.

"Tugaskan perguruan tinggi yang ada di Sumatera Utara baik negeri maupun swasta untuk melakukan penelitian itu semua. Perguruan tinggi juga punya tanggungjawab dalam pembangunan Sumatera Utara. Tempatkan masing-masing perguruan tinggi untuk menangani satu daerah atau kabupaten sesuai dengan potensi daerah," kata dia.

Khusus untuk pembangunan pariwisata Danau Toba, menurut Edy, harus dikeroyok, dengan melibatkan semua elemen. Jadi tidak berjalan sendiri-sendiri dengan kepentingannya sendiri-sendiri dengan 'menghajar' potensi yang selama ini telah berhasil membangun kekuatan ekonomi masyarakat sekitar.

"Saya tahu, banyak elit yang berkepentingan dalam KJA tanpa memikirkan dampak sosial, ekonomi yang ditimbulkan atas statmen yang disampaikan. Rakyat tetap menjadi korban. Padahal pemerintah tidak pernah melakukan pembinaan terhadap petani KJA bagaimana memproduksi ikan yang ramah lingkungan," jelasnya.

Karena itulah, kata Edy, sebelum pariwisata mampu memberikan kekuatan ekonomi bagi masyarakat sekitar, alangkah baiknya pemerintah mengkaji lebih dalam soal pemaksaan tutup KJA ataupun pembatasan daya dukung KJA yang hanya 10.000 ton per tahun.

"Apakah daya dukung 10.000 ton itu wajar atau memang sudah pas, atau karena ada 'udang di balik batu' mengingat KJA adalah sumber penghasilan utama masyarakat sekitar Danau Toba. Jangan kita korbankan rakyat hanya demi kepentingan elit," tegas Edy lagi.