JAKARTA - Tantangan Indonesia saat ini dan masa akan datang adalah merebaknya intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan berbagai paham dan tindakan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Paham kebangsaan dan perasaan senasib sebagai warga sebangsa dan se-Tanah Air mulai luntur. Jika kondisi ini dibiarkan, Indonesia akan hancur berkeping-keping.

Oleh karena itu, saat ini dibutuhkan pahlawan moral, yakni figur-figur di berbagai lini yang berani membela Pancasila dan UUD 1945. Pahlawan moral adalah mereka yang tidak takut memperjuangkan kebenaran dan keadilan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Demikian dikemukakan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Oesman Sapta Odang (OSO), Kamis (9/11).

Oesman yang juga wakil ketua MPR dipercaya mewakili Presiden Joko Widodo menjadi inspektur upacara pada "Upacara Tabur Bunga" di Laut Jawa, Jumat (10/11), untuk memperingati para pahlawan yang gugur di medan juang untuk mendirikan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pada masa perang memperebutkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, kata OSO, nama sapaan Oesman Sapta, para pahlawan bangsa tidak pernah memandang suku, agama, ras, dan golongan (SARA). Mereka juga tidak membedakan sesama bangsa berdasarkan golongan pribumi dan nonpribumi.

"Siapa saja yang berjuang untuk memperebutkan dan mempertahankan kemerdekaan adalah sesama bangsa," ujarnya.

OSO mengimbau para pemimpin politik untuk memberikan suri teladan dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Negara ini didirikan oleh seluruh rakyat Indonesia, Sabang hingga Marauke, apa pun suku, agama, ras, dan golongannya.

Para pahlawan bangsa pun tidak mengenal dikotomi pribumi dan nonpribumi. Menyadari perasaan senasib sepenanggungan, para pahlawan menggelorakan perasaan dan semangat sebagai satu bangsa.

"Jangan ada lagi pemimpin politik yang menebar isu SARA untuk sekadar menjaring suara di pemilu," kata OSO.

Dalam kontestasi politik, yang harus dikedepankan adalah visi dan program untuk membangun bangsa. Jika setiap calon anggota legislatif, kandidat kepala daerah, dan calon pemimpin tertinggi Republik menghindari isu SARA dan lebih mengedepankan persatuan, Indonesia akan semakin kuat.

"Bila kita menghargai jasa para pahlawan, maka yang harus kita tunjukkan adalah semangat persatuan, bukan semangat memecah belah bangsa," kata OSO.

Dia menilai, meluasnya intoleransi dan radikalisme di Tanah Air, antara lain disebabkan minimnya pamahaman terhadap sejarah bangsa. Keberagaman di Indonesia sudah menjadi takdir.

Semua orang yang menjadi warga negara Indonesia harus bisa menerima Indonesia sebagai negara kesatuan yang bineka. Walaupun berbeda-beda dalam suku, agama, ras, dan golongan, warga Indonesia memiliki tujuan dan fondasi yang sama, yakni mewujudkan negara Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Untuk memerangi radikalisme dan intoleransi, OSO melihat pentingnya pendidikan formal dan revitalisasi budaya bangsa. Pendidikan Indonesia harus lebih memperhatikan penanaman nilai moral bangsa, nilai yang terkandung di setiap sila dalam Pancasila.

Kebudayaan daerah di Indonesia sudah terbukti memperkuat persatuan bangsa. Nilai-nilai budaya daerah perlu diperkenalkan kepada generasi muda.

Generasi muda atau generasi milenial, demikian OSO, perlu diajarkan penghargaan terhadap moralitas. "Jangan sampai semua hal hanya diukur oleh uang. Penghayatan dan pengamalan terhadap nilai-nilai moral Pancasila jauh lebih penting dari duit. Karena dalam moral Pancasila ada nilai kerja keras, semangat gotong royong, dan nilai kejujuran," tegasnya.

Negara ini, kata OSO, dibangun oleh semangat gotong royong. Setiap warga harus terlibat untuk membangun bangsa. Dengan semangat gotong royong, Indonesia mampu menggapai cita-cita proklamasi, yakni masyarakat adil dan makmur.

"Musuh terbesar gotong royong adalah intoleransi. Di sini pentingnya kehadiran pahlawan moral yang berani melawan intoleransi," tegas OSO yang juga ketua umum Partai Hanura. ***