MEDAN - Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan terhadap tiga terdakwa kasus korupsi revitalisasi Terminal Terpadu Amplas, dinilai Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) adalah putusan (vonis) 'banci'. Pasalnya dalam putusan tidak ada menyatakan dan menetapkan untuk dilakukan penahanan. "‎Banci itu putusan majelis hakim karena putusannya seperti bisa ditahan atau tidak," ungkap Kepala‎ Seksi Penerangan Hukum dan Humas Kejatisu, Sumanggar Siagian, Selasa (7/11/2017).

Putusan 'banci' itu, yang diterima tiga terdakwa yakni ‎Plt. Kabid Pengawasan dan Survey Dinas Perkim Medan, Khairudi Hazfin Siregar selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang merangkap Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Tim leader konsultan pengawas kegiatan, Bukhari Abdullah dan Direktur PT Welly Karya Nusantara, Tiurma Pangaribuan.

Sumanggar menilai harusnya ada ketegasan dalam putusan itu. Dengan menyatakan dalam petikan putusan tersebut, menetapkan penahanan terhadap tiga terdakwa tersebut. Namun, dalam putusan tidak ada tertuang penetapan penahanan.

"Kalau didalam redaksi bahasa putusan tidak ada penetapan penahanan. Meski sudah inkra, belum tentu bisa ditahan. Karena, kita mengikuti putusan itu. Makanya, kita pelajari dulu petikan putusannya," jelas Sumanggar.

Untuk melakukan eksekusi terhadap terdakwa sesuai dengan putusan majelis hakim PN Medan. Sumanggar menyebutkan tidak melihat keaktifan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).

"Tinggal melihat mobile mereka (aktifan JPU). Pro aktif atau tidak. Kalau saya tanyai mereka (JPU), Kirai saya punya kepentingan dalam kasus ini," bebernya.

Diketahui, vonis ringan diberikan majelis hakim diketuai Rosmina kepada ketiga terdakwa tersebut.‎ Untuk Siagian‎ Hazfin Siregar dengan hukuman penjara selama 1 tahun dan 3 bulan penjara. Kemudian, denda sebesar Rp 50 juta, subsider 2 bulan kurungan penjara.

Untuk Tiurma Pangaribuan dijatuhkan hukuman selama 1 tahun dan tiga bulan penjara. Kemudian diwajibkan membayar denda sebesar Rp 50 juta, subsider 3 bulang kurangan penjara. Tiurma juga dibebankan ‎untuk membayar uang pengganti korupsi sebesar Rp 300 juta. Bila tidak mampu membayar digantikan hukuman penjara selama 1 tahun.

Sedangkan, terdakwa Bukhari Abdullah divonis dengan hukum penjara selama 1 tahun dan dua bulan penjara. Kemudian, diwajibkan untuk membayar denda sebesar Rp 50 juta, subsider 3 bulan penjara.

Perlakuan 'istimewa' juga diperlihatkan terhadap 3 terdakwa. Saat menjalani sidang majelis hakim tidak melakukan penetapan penahanan hingga vonis diberikan kepada 3 terdakwa. Terkesan ada permainan dalam penanganan kasus korupsi semenjak dari penyidikan di Kejatisu hingga diadili di Pengadilan Negeri (PN) Medan.