MEDAN-Hingga saat ini, belum ada zonasi yang jelas bagi peruntukan kawasan perairan Danau Toba, khususnya zonasi budidaya ikan dengan sistem keramba jaring apung (KJA) yang disepakati oleh semua pemangku kepentingan se-kawasan perairan Danau Toba.

Termasuk soal daya dukungnya. Di mana Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) tahun 2017 yang membatasi produksi ikan nila hanya 10.000 ton per tahun hasil budidaya dengan sistem KJA perlu dipertanyakan.

"Apa dasar penentuannya sehingga daya dukung Danau Toba hanya 10.000 ton per tahun mengingat banyak aspek yang harus dipertimbangkan," kata ahli budidaya perairan (Aquakultur), Pohan Panjaitan di Medan.

Menurut Pohan, penentuan daya dukung perairan Danau Toba harus dilakukan penelitian yang holistik. Data base, seperti permeter fisika, kimia, biologi serta siklus biogeokimia juga harus ada.

"Sampai saat ini data base perairan Danau Toba belum ada. Dan data base tersebut harus berasal dari hasil kajian ilmiah yang dilakukan oleh ahli Limnologi yaitu ahli yang mengkaji fisika, kimia, biologi dan proses biogeokimia di Danau Toba sendiri," jelas Pohan.

Hasil kajian itulah nanti, kata Pohan, yang digunakan sebagai dasar untuk menentukan jumlah unit KJA yang diizinkan pemerintah daerah sebagai media budidaya ikan dengan sistem KJA di perairan Danau Toba.

"Penentuan daya dukung setiap lokasi berbeda dan dibutuhkan ahli budidaya perairan dan ahli Limnologi," kata Pohan.

Pohan yang juga dosen tetap Fakultas Peternakan Universitas HKBP Nommensen itu mengatakan, ikan nila yang dihasilkan dari KJA di Danau Toba memiliki kualitas terbaik di dunia.

Itu artinya, ikan nila Danau Toba merupakan komoditi unggulan daerah Sumut. Tidak hanya itu, budidaya ikan nila dengan KJA ini juga dapat mendukung industri pariwisata di kawasan Danau Toba sebagaimana yang telah diprogramkan pemerintah pusat menjadi destinasi internasional.

Misalnya, pemberian pakan ikan di unit KJA bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Dan, suasana seperti itu juga ada di Hongkong. Kemudian, ikan yang dibudidayakan dapat dijadikan sebagai menu utama bagi para wisatawan, baik di restoran, hotel maupun penginapan lainnya.

Selain itu, dapat juga dijadikan sebagai sarana tempat memancing bagi wisatawan. Tetapi itu semua harus dilakukan dengan ramah lingkungan.

"Untuk menciptakan budidaya ikan nila dengan KJA yang ramah lingkungan, itulah tugas pemerintah dan stakeholder. Dengan begitu, usaha budidaya ikan nila dengan pengembangan pariwisata Danau Toba menjadi terintegrasi. Budidayanya jalan, pariwisatanya juga," ujar Pohan.

Mengenai KJA ikan nila yang disebut-sebut sebagai sumber pencemar air Danau Toba, menurut Pohan, juga perlu pengkajian yang lebih dalam. Karena menurut pengamatannya, banyak sumber yang memberi kontribusi terhadap pencemaran Danau Toba.

Seperti hotel yang limbahnya langsung dibuang ke danau, limbah rumah tangga yang juga dibuang ke danau dan sungai yang ada di lingkar Danau Toba semuanya mengalir ke Danau Toba.

"Sungai-sungai itu saya yakin juga sudah tercemar berat oleh bahan berbahaya, karena sungai dipakai juga untuk sektor pertanian, dimana petani juga menggunakan pestisida dan obat-obatan kimia lainnya. Itu semua tumpah ke Danau Toba. Jadi, perlu dikaji berapa persen sebenarnya kontribusi KJA dalam pencernaan air Danau Toba," terang Pohan.