MEDAN-Bagi masyarakat Batak Toba, membuka lahan apakah untuk djadikan perkampungan atau perladangan, termasuk salah satu ritus yang paling dihormati. Tidak bisa seseorang dengan sembarangan membuka lahan.

Misalnya menebangi pohon-pohon di hutan, baik untuk kepentingan pribadi maupun bersama. Apalagi dengan cara membakar. Membuka lahan bagi masyarakat Batak Toba harus melalui berbagai ritual tertentu. Itupun mesti memenuhi sejumlah syarat.

Hal itu terungkap dalam buku “Kehidupan di Balik Tembok Bambu” karya Bisuk Siahaan. Disebutkan di dalam buku itu, pertama sekali, seseorang yang mau membuka kampung harus menyampaikan niatnya kepada orang kampung atau raja huta (kampung) di tempat dia tinggal. Jika disetujui barulah niat itu boleh dilanjutkan.

Orang Batak tidak boleh sembarang menebang kayu di hutan. Karena mereka yakin, setiap pohon memiliki kehidupan yang harus dihormati.

Selain itu, mereka juga yakin, di setiap pohon ada kehidupan lain yang hidup di sana dan juga harus dihormati. Karena itu, biasanya mereka juga akan bertanya kepada orang pintar untuk menghindari bencana yang tak diinginkan.

“Untuk sekadar menebang sebatang pohon saja, orang Batak harus memenuhi sejumlah persyaratan. Pertama, pohon yang akan ditebang harus berumur cukup. Kedua, tidak boleh menebang pohon dalam jumlah banyak hanya di satu titik atau areal saja. Ketiga, orang tersebut harus mengganti pohon yang ditebang dengan 3 tanaman baru,” kata budayawan Batak, Idris Pasaribu.

Manakala pohon itu ditebang, segera dia harus menanam 3 bibit baru. Istilah ini dikenal dengan tanam 3 tebang 1. Secara filosofis, 3 bibit pohon ini dimaksud sebagai pengganti, sekaligus menjadi cadangan untuk anak dan cucunya di masa mendatang. Selain itu, seseorang tidak boleh menebang pohon yang berada di pinggir kampung. Atau yang termasuk pohon penyanggah.

Karena itu, mereka harus masuk ke dalam hutan. Hal ini dimaksud agar tidak menganggu sistem sumber air di kampung tersebut. Tidak heran jika mereka akan menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mengambil beberapa batang kayu.

Menariknya, jika ada salah satu syarat yang dilanggar, orang tersebut tidak hanya akan mendapat sanksi adat maupun sosial. Lebih berat, justru sanksi secara spiritual. Biasanya, orang tersebut akan mereka bersalah. Merasa diteror. Batinnya tidak tenang.

Setiap kali ada hambatan dalam perjalanan selama proses menebang pohon itu, akan dikaitkan dengan roh penghuni hutan atau pohon yang marah. Rasa bersalah ini pun terbukti sangat ampuh. Karena biasanya orang tersebut akan menghentikan proses penebangan pohon dan kembali ke kampung. Mereka akan meminta maaf dan menggenapkan syarat yang kurang.

Jika toh masih punya peluang, dia akan diberikan kesempatan. Tak jarang pula, akhirnya dilarang sama sekali. Justru inilah nilai-nilai yang membuat setiap orang Batak begitu menghormati hutan yang mereka sebut dengan harangan.

Di masa lalu, hutan-hutan yang ada di Tano Batak, selalu terjaga keberadaannya. Dalam perkembangan selanjutnya, apa yang diyakini nenek moyang orang Batak Toba itu, kita sebut dengan kearifan lokal. Di dalamnya dapat kita buktikan sebab akibat secara logis.

Go Green

Sebagai masyarakat komunal atau yang hidup secara berkoloni, semua masyarakat suku di Indonesia terikat oleh nilai-nilai kebersamaan. Tidak hanya dengan sesama manusia, tetapi juga terhadap alam.

Jika dikaji, justru ritus-ritus yang biasanya bermakna spiritual itu selalu bersinggungan dengan visi alam. Pada akhirnya berkaitan dengan tujuan pelestarian alam. Keyakinan ini merupakan manifestasi dari kosmologi yang dianutnya. Adanya relasi antara mikro dengan makrokosmos.

Bagi mereka kehidupan yang harmonis adalah yang berelasi antara masing-masing individu dengan alam sekitar mereka. Prinsip inilah merupakan substansi dari konsep go green.

Dengan kata lain, jauh sebelum konsep go green ada, nenek moyang orang Indonesia, khususnya Batak Toba, sudah lebih dulu melakoninya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Karena itulah kita heran, mengapa kini dengan gampang masyarakat Indonesia, baik secara perorangan maupun perusahaan membakar lahan dan hutan dengan seenak hatinya. Sungguhkah keyakinan mereka akan kehidupan di luar diri mereka, seperti yang diajarkan para pendahulunya, telah hilang sama sekali?