JAKARTA - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menilai kinerja Dewan Perwakilan Daerah saat ini masih kurang optimal. DPD seperti hanya berfungsi memenuhi aturan konstitusi.

Hal ini diungkapkan Tjahjo pada diskusi sesi pertama Simposium Nasional Pemantapan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Mewujudkan Kewajiban Konstitusional DPD RI menurut UUD NRI Tahun 1945, di Gedung Nusantara IV, Komplek MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (4/10).

Pada diskusi dengan tema Proses Perencanaan Pembangunan dan Penganggaran APBN untuk Daerah : Mewujudkan Kewajiban Konstitusional DPD RI yang digelar oleh Lembaga Pengkajian MPR RI ini, yang menjadi pembicara, Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo, Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, mantan Menteri Otonomi Daerah era Abdurrahman Wahid, Dr. Syarif Hidayat dari LIPI, Anwar Sanusi selaku Sekjen Kemendes PDTT, Dirjen Otonomi Daerah Kementrian Dalam Negeri, Sonny Sumarsono, dan Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, dengan moderator Theo L. Sambuaga.

Tjahjo Kumolo dalam sambutannya mengatakan, pemerintah akan membangun hubungan tata kelola antara pemerintah pusat dan daerah yang efisien sesuai mekanis percepatan reformasi dan juga mempercepat otonomi daerah. "Mulai dari kebijakan perizinan hingga kebijakan pelayanan untuk tata kelola pemerintahan," kata Tjahjo.

Sejalan dengan itu, saat ini ada perkembangan daerah otonomi baru. DPD sebagai perwakilan daerah seharusnya mampu mengawal pembangunan dari daerah. Namun, kinerja Dewan Perwakilan Daerah menurutnya, masih kurang optimal. DPD seperti hanya berfungsi memenuhi aturan konstitusi. "Ini secara prinsip kita perlu pikirkan bersama," kata Tjahjo.

Ia mengatakan, sejak tahun 1999 hingga saat ini, penguatan otonomi daerah terus dilakukan. Kini, telah ada 314 daerah otonomi baru. Daerah otonomi baru itu, secara prinsip telah menunjukkan peningkatan dalam percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

"Untuk penguatan otonomi daerah yang merupakan hak konstitusional daerah dan masyarakat di daerah, sudah mendaftarkan dan mempersiapkan diri sebanyak 314 daerah dari provinsi maupun kabupaten/kota," katanya.

Prof. Ryaas Rasyid, pengggagas UU Otonomi Daerah dan mantan menteri Negara Otonomi Daerah Indonesia era Presiden Abdurrahman Wahid menjelaskan, kita tidak memiliki konsep mapan soal otonomi daerah.

Menurutnya, ada kecenderungan yang mempersulit otonomi daerah. Selama ini otonomi daerah tidak pernah selesai dan melahirkan banyak masalah. Bahkan, ia mengatakan sistem ini telah melahirkan para koruptor karena daerah memiliki kewenangan sangat besar dan memiliki otonomi untuk mengelola keuangannya sendiri."Mereka menjadi korban sistem itu dan memungkinkan terpeleset," katanya.

Ia menyarankan agar sistem harus diubah dan mengkoreksi sistem kepemimpinan. "Ada gap antara pemerintah pusat dan daerah. Ada gap antara orang miskin dan orang kaya. Bila dibiarkan begitu terus maka akan menciderai demokrasi kita," ujar Ryaas.

Sementara Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo yang juga selaku Ketua Asosiasi Pemerintah Provinsi Se-Indonesia (APPSI) mengatakan, otonomi daerah suatu keharusan dan mutlak dilakukan. Pemerintah menurutnya harus bisa memenuhi harapan rakyat dalam hal meningkatkan pembangunan dan kehidupan sosial kemasyarakatan.

Ia memberi masukan agar DPD merupakan representasi di kantor gubernur masing-masing daerah, bukan di Senayan. Karena DPD tidak sama dengan DPR. "DPD memperjuangkan kepentingan daerah," katanya.

Syarif Hidayat dari LIPI membicarakan mengenai penguatan DPD. "Praktik desentralisasi belum sepenuhnya sesuai prinsip negara kesatuan.Yang terbaik adalah otonomi luas bukannya ke otonomi terbatas. Konsep ini harus direformasi,ā€¯katanya.

Menurut Syarif, DPD sebagai penyeimbang, pengawasan, dan anggaran. Dan melakukan penguatan dalam perencanaan pembangunan. Namun pada prakteknya DPD dilemahkan dalam menjalankan fungsi penyeimbang. ***