MEDAN - Kasus dugaan penganiayaan disertai kekerasan terhadap M Dendi Hartomo (21) warga Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang yang diduga kuat dilakukan oknum-oknum Sat Reskrim Polres Deli Serdang, membuat Aliansi Masyarakat Sipil Anti Penyiksaan (SIKAP) kembali angkat bicara. Aliansi yang berkantor di Jalan Brigjen Katamso No 324 Medan Maimun ini juga mendesak Komisi III DPR RI untuk mengevaluasi secara menyeluruh kinerja Polri khususnya Polda Sumut.

"Sikap (kami) sebagai aliansi yang peduli atas kasus penyiksaan di Sumut menyatakan mengecam keras segala bentuk praktik penyiksaan yang terjadi di Sumut yang diduga banyak terjadi pada ranah penegakan hukum. Salah satunya adalah pada institusi kepolisian," tegas Koordinator AKSI, Quadi Azam saat memaparkan kasus Dendi di sekretariatnya, Kamis (14/9/2017).

Dalam pemaparannya itu, dirinya mengaku kalau potret penyiksaan dan kekerasan di lapangan penegakan hukum masih menyisakan persoalan yang signifikan. Laporan-laporan peristiwa penyiksaan yang dialami masyarakat masih belum ditangani dengan semestinya.

Seperti yang dialami Dendi, dimana masih dikatakannya, penangkapan yang dilakukan oleh Sat Reskrim Polres Deli Serdang terhadap Dendi pada 16 Agustus 2017 kemarin, adalah momen yang tidak akan pernah terlupakan bagi dirinya.

Sebab, aparat Polres Deli Serdang yang melakukan penangkapan tidak menggunakan surat perintah penangkapan dan diduga kuat M Dendi mengalami penyiksaan yang luar biasa dan dilakukan lebih dari 1 orang.

"Akibat dianiaya itu jari tangannya patah, wajah dan kakinya mengalami lebam-lebam," terangnya.

Oleh karena itu, untuk memastikan hak-hak korban sebagaimana yang tertuang dalam beberapa aturan, puluhan advokat yang tergabung dalam SIKAP telah mendaftarkan kasus ini ke Pra-pradilan pada 27 Agustus 2017 ke PN Lubuk Pakam. Upaya ini tidak hanya sebatas memastikan Dendi mendapatkan haknya, namun juga bentuk kontrol publik atas penyalahgunaan kewenangan dalam penegakan hukum.

Penegakan hukum oleh anggota Polri "ala Dendi", masih menggunakan pola penyiksaan untuk mengejar pengakuan, bukan hanya mencerminkan polisi yang tidak cerdas. Namun hal ini menjadi pola sistematis menuju peradilan sesat. Maka dari itu, SIKAP mendesak Kapoldasu membuka akses pengaduan seluas-luasnya terhadap korban penyiksaan, serta mendesak Kapolri untuk mengevaluasi Kapoldasu yang melakukan pembiaran sehingga menyebabkan praktik-praktik penyiksaan terus berulang.