MEDAN - Pengadilan Negeri (PN) Medan menggelar sidang perdana terdakwa Koordinator Administrasi dan Keuangan Kantor Konsultan Pajak Adi Dharma Medan, Tiandi Lukman di Ruang Cakra I, Selasa (12/9/2017) sore. Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Netty Silaen, pada tahun 2007, terdakwa Tiandi bersama Hendro berencana mendirikan beberapa perusahaan untuk membuat faktur pajak berdasarkan transaksi jual beli fiktif yang bertujuan untuk mendapat keuntungan dari sisi penjualan faktur pajak yang tidak benar isinya dan menawarkan kepada Busra sebagai Direktur pada sebuah perusahaan perdagangan minyak sawit. Busra menyetujuinya.

Kemudian, terdakwa Tiandi bersama Hendro memerintahkan karyawan PT Jastra dan Kantor Konsultan Pajak Adi Dharma Medan yaitu Dora Fatimah dan Martogi untuk membuat dokumen fiktif antara lain SPT masa PPN, surat setoran pajak, kontrak jual beli CPO antara PT Batanghari Oilindo Palm dengan PT Permata Hijau Sawit, kontrak jasa angkutan CPO, berikut SSP-nya dan faktur pajak standar yang seolah-olah telah terjadi jual beli barang kena pajak (BKP).

"Atas transaksi faktur pajak fiktif itu, PT Batanghari Oilindo Palm berpotensi menimbulkan negara sebesar Rp 8.572.906.218," ujar Netty.

Pemilik PT Jasa Sumatera Travelindo itu didakwa telah menerbitkan faktur pajak standar fiktif dan melaporkan SPT masa Januari 2007 sampai Januari 2008 yang tidak benar atas nama PT Batanghari Oilindo Palm, PT Permata Witmas Hijau, PT Cipta Karya Insani, PT Al Ansar Bina Sawindo Plantation dan PT Putri Windu Semesta telah dikreditkan sebagai pajak masukan oleh PT Permata Hijau Sawit kepada Kantor Pelayanan Pajak Madya Medan yang merugikan pendapatan negara sebesar Rp 40.673.717.921.

Selain terdakwa Tiandi, ada dua orang yang turut diadili yakni Hendro Gunawan alias Aheng selaku Manajer Kantor Konsultan Pajak Adi Dharma Medan dan Rudi Nasution selaku Direktur PT Putri Windu Semesta. Sedangkan terdakwa Busra Ridwan alias Busro alias Bustomi selaku Direktur PT Batanghari Oilindo Palm telah lebih dahulu diadili.

Selanjutnya, Tiandi bersama Hendro juga membuat transaksi fiktif pada PT Permata Witmas Hijau. Transaksi fiktif itu membuat PT Permata Witmas Hijau berpotensi menimbulkan kerugian pendapatan negara sebesar Rp 8.198.748.111.

"Terdakwa Tiandi bersama Hendro juga membuat transaksi fiktif pada PT Cipta Karya Insani yang berpotensi menimbulkan kerugian pendapatan negara sebesar Rp 7.712.596.338, PT Al Ansar Binasawindo Plantation sebesar Rp 8.230.964.674 dan PT Putri Windu Semesta sebesar Rp 7.958.502.580," jelas jaksa wanita dari Kejatisu itu.

Perbuatan para terdakwa membuat kerugian negara dengan total Rp 40.673.717.921.

"Perbuatan para terdakwa diatur dan diancam dengan pidana dalam Pasal 39 ayat (1) jo Pasal 43 ayat (1) UU RI No 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 16 Tahun 2000 jo UU Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jo Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana," tandas Netty Silaen.