JAKARTA - Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta DPR sebagai lembaga legislatif tegas memutuskan nasib Setya Novanto usai menjadi tersangka korupsi e-KTP. Jika terus dibiarkan, Wapres menilai lembaga tersebut tidak akan berjalan efektif.

"DPR menganut sistem praduga tidak bersalah sehingga baru bisa apabila terjadi keputusan hukum tetap, tapi dibutuhkan juga keputusan DPR Kalau begini terus tentu efektivitas pimpinan DPR tidak efektif," ujar Wapres disela-sela acara KTT OKI di Astana, Kazakhstan, Senin (11/09).

Seperti diketahui, Setnov, sapaan akrab Setya Novanto menjadi tersangka kasus megakorupsi pengadaan e-KTP dengan proyek senilai Rp 2,3 triliun.

Ketidaktegasan DPR, lanjut Wapres, tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Pun hari ini Setnov mangkir memenuhi panggilan penyidik KPK dengan alasan sakit. Hal itu pun dinilai Wapres tak bisa dibiarkan berlarut.

"Tapi tentu ada batasnya juga, tidak boleh terus begitu, ya kita tunggu saja proses hukumnya," tambah Wapres.

Meski kinerja DPR tidak diukur dari kerja per orangan melainkan lembaga. Di samping itu, DPR juga mempunyai empat wakil ketua sehingga jika ada masalah dengan ketuanya tentu harus dipilih lagi.

Menanggapi perlu tidaknya Ketua DPR segera diganti, menurut Wapres, DPR menganut sistem praduga tidak bersalah sehingga baru bisa apabila terjadi keputusan hukum tetap, tapi dibutuhkan juga keputusan DPR.

Seperti diketahui, Setnov sudah menyandang status tersangka kasus korupsi e-KTP sejak bulan Juli 2017 lalu. Ia diduga mempunyai andil dalam korupsi megaproyek senilai Rp 2,3 triliun.

"KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seorang lagi sebagai tersangka. KPK menetapkan saudara SN (Setya Novanto) anggota DPR RI periode 2009-2014 sebagai tersangka karena diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena kedudukannya atau jabatannya sehingga diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun dalam paket pengadaan KTP-e pada Kemendagri," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK Jakarta, Senin (17/7).

Setnov disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

terkait status tersangka, Setnov pun sudah melakukan perlawanan. Ia melayangkan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sidang perdana praperadilan Novanto dijadwalkan pada Selasa (12/9), seperti diberitakan Antara.***