MEDAN - Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) Sumut diminta melakukan pengawasan dan penyeleksian ketat bagi orang-orang yang ingin menjadi pemimpin di Propini Sumatera Utara. Bukan itu saja, wakil rakyat yang salah satunya terlibat kasus korupsi Bantuan Sosial (Bansos) juga harus diproses secara hukum yang berlaku. Bila perlu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga membeberkan siapa saja yang terlibat secara transparan ke publik, sehingga rakyat tidak akan lagi memilih orang-orang yang telah menyakiti hati masyarakat Sumut.

"Jangan biarkan kita dipimpin oleh pemimpin yang kotor dan korup. Selain itu anggota DPRD yang juga terlibat baik yang sudah ataupun yang belum mengembalikan uang Bansos harus tetap diproses secara hukum. Jangan masalah yang telah menyakiti hati masyarakat Sumut ini dibiarkan berlarut-larut begitu saja," tegas Koordinator Wilayah (Korwil) I Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Sumut-NAD, Swangro Lumbanbatu, Rabu (6/9/2017).

Dalam kesempatan itu, GMKI juga menolak dengan tegas upaya-upaya DPR RI untuk memangkas kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi. Sebab, dirinya menilai disaat ini sedang terjadi upaya masif untuk memukul mundur semangat pemberantasan korupsi, dimulai dari lembaga DPR RI yang mewacanakan penyadapan KPK harus melalui Komisi Pengawasan di DPR, atau adanya pasal yang mengatur mekanisme SP3 setelah penyidikan, bahkan sampai adanya serangan fisik yang diduga upaya melakukan pembunuhan terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan. Selain kepada institusi dan personel KPK, upaya melemahkan pemberantasan korupsi juga dilakukan dengan mengkriminalisasi aktifis anti koruptor.

"Di tingkat lokal yakni di Sumatera Utara, beberapa hari belakangan ini juga sudah terjadi. Kami sebagai mahasiswa merasakan ada upaya-upaya untuk membungkam suara yang berbicara realistis tentang capaian kinerja penyelenggara negara, kepala pemerintahan Sumut. Yang menjadi persoalan bagi kami, tindakan apa lagi yang akan kami terima bila mahasiswa menyuarakan soal penegakan hukum di Sumut," aku Swangro Lumbanbatu.

Dijelaskannya sebelum Juli 2015, penyelewengan uang negara oleh Gubernur Sumut, khususnya pengelolaan dana-dana Bansos, praktik uang ketok, suap kepada DPRD Sumut agar memuluskan program-program bancakan, seolah-olah sudah menjadi tradisi.

"Kami merasakan Gubernur dan Wakil Gubernur saat itu tidak memiliki sedikit pun wibawa di hadapan DPRD, bahkan mereka berkoloborasi untuk mencuri uang negara. Ini merupakan fakta di persidangan," kata mahasiswa Pascasarjana USU ini.

Ditambahkannya, mahasiswa sangat berterimakasih pada KPK yang telah menangkap Gubernur dan anggota DPRD Sumut serta membongkar praktik-praktik pencurian uang rakyat itu. Masa-masa penyelidikan hingga pengadilan terhadap para koruptor itu memicu rasa kemenangan di dada kami mahasiswa. Namun kebanggaan mahasiswa itu terganjal oleh penanganan KPK yang makin melempem. Terbukti dari adanya masih adanya tebang pilih penegakan hukum oleh KPK itu sendiri.

Dimana hingga saat ini, anggota dan mantan DPRD Sumut yang diduga telah mengaku menerima uang suap dari Gubernur Sumut saat itu, tidak juga ditahan atau dihukum. "Kalau yang mengaku menerima uang suap saja tidak dihukum, apalagi yang tidak mengaku," ungkap Swangro.

Maka dari itu GMKI Sumut-NAD ini meminta KPK untuk menegakkan hukum secara penuh dan jangan lagi sakiti hati rakyat.