PAGI masih merekah, namun Zaw Lay dan keluarganya melihat pagi itu seperti hendak kiamat. Mereka bersembunyi di basement rumah temannya di Yekhatchchaung Desa Gwasone yang berbatasan langsung antara Myanmar dan Bangladesh.

Kejaran tentara Myanmar yang kapan saja bisa menembakkan senjata ke kepala mereka, membakar mereka hidup-hidup, memerkosa ibu atau saudara perempuan mereka atau ringannya memukuli mereka tiada ampun membuat mereka ketakutan. Hidup mereka seperti berada di negara Jahanam: penuh siksaan dan penderitaan.

Jantung mereka berdetak kencang, keringat dingin deras menuruni pipi sambil tangan mereka saling berpegangan. Saling menguatkan. Sesekali air mata menuruni pipi. Gambaran ketakutan dan kesedihan begitu jelas dari raut wajah mereka.

Tak ada siapapun yang bisa membantu mereka kecuali mereka berdoa dan berpasrah diri kepada Allah SWT satu-satunya tempat berlindung dan meminta tolong ketika dunia semuanya diam dan bisu dengan berbagai kebiadaban ini.

Dua helikopter tentara Nyanmar menderu-deru di atas langit rumah tempat dimana mereka bersembunyi. Walau tidak melihat mereka, para tentara itu terus saja menghujani timah panas ke arah rumah di mana Zaw Lay dan keluarga bersembunyi.

Sesudah puas menghujani peluru pada setiap rumah penduduk desa Dwasone mereka kemudian membakar rumah itu.Kobaran api menjalar kemana-mana. Asap hitam mengepul membumbung tinggi ke atas awan. Semua yang terperangkap di dalam rumah meregang nyawa (syahid) dengan jasad hitam terbakar tak ubahnya seperti arang.

Mereka yang selamat dari keberutalan tentara Myanmar yang biadab berlari ke dalam hutan di perbatasan Bangladesh, sebagian menyebrangi Sungai Naf yang deras dengan hanya bermodalkan seutas tali seadanya yang diikat di kedua tepi sungai; puluhan lansia, perempuan dan anak-anak hanyut terbawa derasnya aliran sungai dan ditemukan mengambang di muara kota Tekhnaf Bangladesh. Sementara lebih dari 25.000 lainnya menjadi manusia perahu, mengapung diatas perahu melawan panasnya terik matahari dan dinginnya angin laut tanpa tahu kemana dan kapan akan berlabuh.

Kekerasan itu bukan hanya dialami oleh Zaw Lay, namun semua penduduk muslim etnis Rakhine. Kini sekitar 27.000 orang menjadi pengungsi, ratusan meninggal dunia dan sekitar 20.000 masih tertahan di perbatasan Bangladesh.

BARACK OBAMA DAN AUNG SUU KYI

Semua yang membaca pemberitaan terkait berbagai penindasan dan kekejaman tentara Nyanmar takkan percaya kalau peristiwa berdarah dan menguras air mata itu terjadi di masa kepemimpinan pemerintahan de facto Aung Suu Kyi, perempuan berumur 70 tahunan yang pernah mendapatkan penghargaan Nobel Perdamaian dan dipuji-puji karena keberanian tak berbatas yang dilakukan oleh Aung Suu Kyi.

Dia dikenal sebagai perjuang HAM dan demokratisasi di bawah kepemimpinan diktator junta militer Myanmar yang membuat dia dipenjara selama 12 tahun.

Disamping meraih Nobel perdamaian, karena keberaniannya pada tahun 2012 dalam kunjungan bersejarah ke Myanmar Barack Obama menjuluki Aung Suu Kyi sebagai orang yang memiliki " Unbreakable Courage" atau keberanian yang tak terpecahkan.

BERBANDING TERBALIK

Kini mata dunia terbelalak dibuatnya. Mereka tidak percaya dengan berbagai statement Aung Suu Kyi terkait permasalahan krisis Rohingya.

Bagaimana mungkin seorang peraih penghargaan Nobel perdamaian berusaha menutupi berbagai kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh pemerintahnya sendiri, menolak pengajuan visa utusan PBB yang ingin menyelidiki kasus ini dan menampik bahwa telah terjadi genosida terhadap minoritas masyarakat Muslim Rakhine. Menurut Aung Suu Kyi, kata genosida itu 'too strong' untuk menggambarkan apa yang terjadi di Myanmar.

Kalau kata Genosida itu dianggap too strong untuk menggambarkan 1500 rumah penduduk yang dibakar oleh pemerintah, 30.000 ribu pengungsi yang meninggalkan kampung halaman mereka, 20.000 manusia yang tertahan di perbatasan Bangladesh dan ratusan nyawa yang ditembaki dan dibakar hidup-hidup.

Lantas kalimat apa yang bisa menggambarkan semua prilaku barbar pemerintah Myanmar? Sungguh Aung Syuu Ki sama sekali tidak pantas mendapatkan penghargaan Nobel perdamaian. Terlalu kotor tangan Aung Suu Kyi untuk memegang penghargaan atas nama perdamaian dan kemanusiaan itu. Karena Aung Suu Kyi dalam hemat saya tak ubahnya seperti Genghis Khan, Maria Mandel, Joseph Stalin atau Adolf Hitler.

Penjahat-penjahat perang legendaris yang dengan sengaja dan tanpa rasa prikemanusiaan membunuhi ratusan ribu orang tak berdosa dengan kekuasaan yang dimilikinya. Semoga, komite Nobel mempertimbangkan pencabutan Nobel perdamaian Aung Suu Kyi, sebelum Aung Suu Kyi diseret ke pengadilan internasional atas kejahatannya pada kemanusiaan. Mujahidin Nur, merupakan alumni Al-Azhar Universiry dan Direktur The Islah Centre, Jakarta ***