MEDAN-Otonomi partai di daerah (provinsi/kabupaten/kota) dalam menentukan kepengurusan, khususnya posisi ketua belumlah menjadi tradisi di Indonesia. Dewan pimpinan pusat (DPP), termasuk hak khusus ketua umum masih menjadi penentu siapa yang duduk sebagai ketua partai di daerah.

Musyawarah daerah (musda), musyawarah wilayah (musda) atau musyawarah cabang/konferda, apapun namanya hanya sebagai seremonial untuk mengesahkan keputusan DPP atau ketua umum. Maka, tak jarang ketua partai yang terpilih di daerah adalah mereka yang mendapat rekomendasi DPP, meskipun bukan kader/pengurus.

Menurut pengamat politik dari Universitas Sumatera Utara (USU), Henri Sitorus, seharusnya dewan pimpinan pusat tak harus mengambil porsi besar dalam menentukan kepengurusan partai di daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

"Partai politik adalah salah satu simbol demokrasi di Indonesia. Namun hal ini tak diikuti dengan praktek demokrasi di internal partai itu sendiri. Partai politik masih menganut tradisi center base. Ada apa-apa ditetapkan oleh ketua umum. Tradisi partai politik kita yang sedang dibangun namanya demokrasi, namun keputusan-keputusan domokratis itu belum banyak terjadi di partai itu sendiri,” kata Henri.

Menurut doktor bidang kajian politik alumni Australian National University (ANU) ini, di daerah, semua itu ditentukan dan menjadi urusan DPP, khususnya dalam menentukan ketua DPD.

“Jadi, tradisinya itu masih top down. Keputusan-keputusan top itu masih datang dari top leader dan tak demokratis," lanjutnya.

Ia pun mencontohkan beberapa tradisi partai yang keputusan belum datang dari bawah, namun masih top down. Partai Gerindra, misalnya, Prabowo Subianto selaku pendiri, sekaligus ketua umum masih punya posisi central dalam memilih ketua DPD.

"Partai mana yang demokratis jika kita melihat tradisi partai seperti ini. Partai politik kan mempunyai fungsi, salah satunya rekrutmen pemimpin publik. Nah, jadi dia (partai) bertugas menyiapkan pemimpin-pemimpin publik yang akan diusung di pemilihan nanti," jelas sosiolog yang juga pengajar ekologi politik ini.

Staf pengajar di Pasca Sarjana bidang Ilmu Ekologi Politik USU ini juga pun menyinggung proses Musdalub DPD Hanura Sumut yang baru saja memilih Kodrah Shah sebagai ketua menggantikan Tuani Lumbantobing yang dipecat DPP.

“Kita lihat saja Musdalub DPD Hanura kemarin. Memang prosesnya dilakukan melalui musyawarah, namun ada rekomendasi di situ, yang datang langsung dari ketua umum partai," jelasnya.

Menurut Henri, sudah saatnya partai mulai berbenah dan benar-benar menjadi sebuah simbol demokrasi. Mulai menciptakan kader dari sruktur paling bawah dan bertahap, lalu menjadi pengurus teras DPD maupun DPP.

“Hal ini akan secara otomatis menciptakan kader-kader partai yang berkompeten di bidang politik untuk diusung di setiap pencalonan,” tutup Henri.