GENAP 106 hari proses penyidikan yang dilakukan Polisi terkait teror penyiraman terhadap Novel Baswedan belum juga menemukan titik terang siapa pelaku dan aktor di balik peristiwa itu. Sebanyak 56 orang pun telah dimintai keterangan dan diperiksa, rekaman CCTV dilokasi kejadian dan barang bukti lainnya turut diamankan berikut pakaian serta cangkir yang digunakan pelaku. Sudah begitu banyak informasi dan barang bukti yang dikumpulkan penyidik. Dengan belum terungkapnya peristiwa tersebut menjadi tanya besar terhadap Polri, apakah karena ketidakmampuan penyidik atau justru karena tersandra oleh kepentingan politik internal ditubuh korps coklat.

Koalisi Masyarakat Sipil Peduli KPK setidaknya pernah menyampaikan beberapa hasil temuan kejanggalan-kejanggalan proses penyidikan yang menunjukan ada ketidakmauan Polri mengungkap secara serius karena tersandra oleh kepentingan politik ditubuh internal Polri itu sendiri.

“Kami meyakini ini ada ketidakmauan penyidik mengungkap kasus ini,” ungkap Koordinator Kontras Yati Andriyani dalam keterangan persnya di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Rabu (26/7/2017).

Koalisi Masyarakat Sipil Peduli KPK yang terdiri atas Indonesia Corruption Watch, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, serta PP Pemuda Muhammadiyah mengungkap setidaknya ada lima kejanggalan sebelumnya pada Juni 2017 pernah diungkap empat kejanggalan.

Pertama, tidak ditemukannya sidik jari dari lokasi kejadian padahal ada barang bukti cangkir kaleng blirik hijau yang digunakan pelaku untuk menyiram muka Novel dengan air keras. Namun polisi menyatakan tak ada sidik jari yang ditemukan di gagang cangkir, karena bentuknya kecil. Ini janggal, karena pelaku secara khusus dan terarah menyiram muka Novel memerlukan konsentrasi, tenaga, dan genggaman tangan kuat pada gagang cangkir.

“Untuk memegang cangkir itu butuh tenaga dan genggaman kuat lantas kenapa disebut tidak ada,” kata Alghifara dari LBH Jakarta di Gedung Muhammadiyah.

Kedua, polisi membebaskan tiga orang terduga pelaku dengan dalih tak ada bukti kuat. Mereka adalah Mukhlis, Hasan, Muhammad Lestaluh. Alasan pembebasan mereka berdasarkan pengecekan lokasi ponsel pintar (GPS), mereka tak berada di lokasi kejadian pada saat penyerangan. Lestaluhu pernah mendatangi rumah Novel sepekan sebelum kejadian, menanyakan perihal gamis laki-laki ke butik rumahan milik istri Novel.

Bahkan dua dari mereka diakui adalah mata elang atau cepu unit ranmor Polisi. Hal itu ditegaskan langsung Kapolda Metro Jaya Inspektur Jendral M Iriawan dalam kesempatan ekspose pengungkapan sabu beberapa bulan lalu.

Ketiga, Inkonsistensi pernyataan antara Mabes Polri dan Polda Metro Jaya mengeluarkan keterangan yang berbeda tentang kasus Novel Baswedan. Mabes Polri, misalnya, pernah menyebutkan telah mengetahui pelaku dan menangkapnya. Polda Metro Jaya meralat keterangan Mabes Polri dengan menyatakan yang ditangkap bukan pelaku.
Keempat, muncul adanya ancaman-ancaman terhadap beberapa anggota Komnas HAM dalam proses usulan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Dimana beberapa waktu lalu Komnas HAM dan PP Pemuda Muhammadiyah menginisiasi pembentukan TGPF.

Kelima, adanya tim di internal Polisi diluar proses penyidikan yang juga bergerak seperti beberapa saksi yang dimintai keterangan juga didekati tim di luar penyidik. Atas kejanggalan-kejanggalan tersebut Koalisi Masyarakat Sipil Peduli KPK mendesak Presiden Jokowi untuk membentuk TGPF yang independen. Serta melakukan evaluasi kinerja Polri dalam mengungkap penyidikan kasus Novel.

“Sejak Kapolri dan KPK menyatakan membentuk tim gabungan keduanya sampai detik kemarin, Senin (24/7) tidak ada yang datang ke Novel,” kata Haris Azhar dari Kontras.

“Saya meyakini pihak kepolisian mengetahui informasi tarik menarik kepentingan pengungkapan kasus Novel dan kasus-kasus lainnya,” tambahnya.